YOGYAKARTA-Pemerintah mengakui wilayah perbatasan Indonesia dengan beberapa negara tetangga, seperti Malaysia beserta pulau-pulau kecil di dalamnya, belum dikelola dengan baik. Kebijakan pembangunan di wilayah perbatasan sejauh ini juga masih dilakukan secara sektoral, bahkan terkadang sarat dengan kepentingan tertentu.
Karena itu, saat ini pemerintah terus berupaya memberikan perhatian lebih kepada wilayah perbatasan dengan berpedoman kepada Wawasan Nusantara dan mengedepankan pembangunan keamanan serta kesejahteraan. “Bukan hanya masalah keamanan semata. Namun, sekaligus diiringi dengan peningkatan ekonomi, kesejahteraan, dan lingkungan masyarakatnya,†kata Menteri Pertahanan (Menhan), Purnomo Yusgiantoro, dalam sambutan yang dibacakan oleh Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Pertahanan dan Keamanan, Mayjend Suwarno, S.I.P., M.Sc., pada pembukaan Workshop Nasional Pertahanan Kawasan Perbatasan RI, yang digelar di Sekolah Pascasarjana UGM, Selasa (1/11).
Menhan mengatakan penguatan pengamanan wilayah perbatasan menjadi prioritas pemerintah untuk menjaga kedaulatan negara. Ia mengakui masih dijumpai sejumlah persoalan terkait dengan wilayah perbatasan, seperti adanya illegal logging hingga pelintas ilegal antarnegara. Dalam kesempatan tersebut, Menhan juga menekankan bahwa persoalan konflik wilayah perbatasan bukan hanya menjadi tanggung jawab TNI, melainkan semua pihak. “Bukan hanya keamanan dan kesejahteraan, penguatan wilayah perbatasan ini juga menjadi tanggung jawab TNI serta semua pihak,†imbuhnya.
Sementara itu, Rektor Universitas Pertahanan Indonesia, Letjen TNI (Purn) Dr. Syarifudin Tippe, M.Si., mengatakan setelah era reformasi bergulir pengelolaan wilayah perbatasan memang belum dilakukan secara optimal sehingga masih banyak keluhan dari masyarakat bahwa daerahnya terbelakang atau terisolir.
Dalam pandangan Syarifudin, persoalan wilayah antara Indonesia dan Malaysia merupakan wilayah yang paling krusial dibandingkan perbatasan Indonesia dengan negara lain. Setidaknya ini terlihat dari munculnya ketegangan kedua belah pihak pada kasus Sipadan dan Ligitan, Ambalat, dan terakhir Camar Bulan serta Tanjung Datu beberapa waktu lalu. Saat ini, masih terdapat 10 OBP (Outstanding Boundary Problems) yang masih dalam pembahasan dan perundingan antara Indonesia dan Malaysia. “Bahkan kasus Ambalat, misalnya, bukan lagi jadi persoalan nasional, tetapi sudah jadi problem regional atau global,†terang mantan Direktur Jenderal Strategi Pertahanan (Dirjen Strahan) tersebut.
Syarifudin berharap agar semua persoalan dan konflik yang terkait wilayah perbatasan dapat diselesaikan dengan menggunakan diplomasi yang kuat sehingga bisa mengangkat martabat bangsa. Di hadapan peserta workshop, Syarifudin sempat menawarkan konsep/model P. Sebatik (timur laut Kalimantan) menjadi kota mandiri terpadu yang diharapkan dapat diterapkan pula di pulau atau wilayah terpencil lainnya.
Sebelumnya, Wakil Rektor Bidang Alumni dan Pengembangan Usaha UGM, Prof. Ir. Atyanto Dharoko, M.Phil., Ph.D., menyebutkan sejumlah persoalan di wilayah perbatasan yang tidak hanya terbatas pada masalah keamanan, tetapi juga ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. “Misalnya di Serawak, dari sekitar 50 ribu anak-anak pekerja Indonesia yang tengah bekerja di sana hanya 10 ribu anak yang bisa bersekolah. Yang 40 ribu belum bisa mengakses pendidikan,†kata Atyanto.
Acara workshop yang berlangsung selama dua hari, 1-2 November 2011, ini merupakan kerja sama antara 9 perguruan tinggi di Indonesia, yang tergabung dalam Forum Masyarakat Perguruan Tinggi Pemerhati Pengelola Perbatasan (MP4), yaitu UGM, Universitas Pertahanan Indonesia, Unpad, ITB, Universitas Cendrawasih, Universitas Nusa Cendana, Universitas Mulawarman, Universitas Tanjungpura, dan ITS. Acara didukung oleh Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP). (Humas UGM/Satria AN)