Yogya, KU
Adanya dualisme penanganan korupsi oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) selama ini mengakibatkan belum efektifnya upaya penegakan hukum bagi pelaku tindak pidana korupsi. Dikarenakan proses yang berlaku selama ini, pengadilan Tipikor hanya mengadili perkara korupsi yang dituntut oleh jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi, sedangkan terdakwa kasus korupsi yang dituntut jaksa penuntut umum dari kejaksaan akan diadili di pengadilan umum.
“Sejauh ini pengadilan umum nampaknya kurang efektif dan tidak memberikan efek jera bagi koruptor. Buktinya, masih banyak perkara korupsi yang divonis bebas, sementara pengadilan tipikor tidak satu pun membebaskan koruptor dari ancaman hukuman,†ujar Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi UGM Denny Indrayana, Kamis (24/7) di kampus UGM.
Dengan tidak adanya vonis bebas bagi pelaku korupsi yang diadili di pengadilan tipikor, menurut Denny, merupakan bukti keseriusan hakim pengadilan tipikor dalam memberantas korupsi dan didukung oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun dengan bersamaan dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di akhir tahun 2006 yang menyatakan dualisme pengadilan tindak pidana korupsi di Indonesia bertentangan dengan UUD 1945 menyebabkan pemerintah melalui Depkumham membentuk Tim Penyusun RUU Pengadilan Tipikor.
“Yang menjadi perhatian kita secara seksama, proses pembahasan RUU ini berjalan sangat lamban dan terlalu lama. Padahal pembentukan UU Tipikor sangat mendesak untuk diadakan apalagi dibatasi limit waktu oleh MK sampai akhir 2009,†imbuhnya.
Bukan hanya itu, tegas Denny, berdasarkan keterangan Depkumham bahwa finalisasi dan penyempurnaan rumusan ketentuan dalam RUU Pengadilan Tipikor segera dilakuan. Rencananya, RUU tersebut akan segera diajukan kepada DPR dalam bulan Juli ini.
“Rancangan draft RUU versi pemerintah ada beberapa hal yang perlu dikritisi, yakni pada pasal 27 dimana memberikan kewenangan penuh kepada ketua Pengadilan Negeri tempat dimana pengadilan tipikor itu dibentuk untuk menentutkan komposisi majelis hakim. Bagian ini membuka peluang bagi ketua pengadilan dan ketua MA melakukan intervensi terhadap proses pengadilan korupsi,†jelasnya.
Selain itu, tambah Denny, dengan komposisi hakim yang tidak jelas dalam mengadili sebuah perkara korupsi dalam RUU tersebut akan menjadi pintu masuk bagi mafia peradilan untuk melakukan intervensi dalam menentukan komposisi hakim. Hal ini sangat berbeda dengan komposisi hakim pengadilan tipikor yang sudah berlaku dan berlangsung selama ini, dimana komposisi hakim terdiri dari 3 hakim ad hoc dan 2 hakim karir
“Saya menilai RUU ini telah menunjukkan bahwa rendahnya komitmen pemerintah dalam memberantaskan praktek korupsi,†tegasnya.
Aktivis indonesian Coruption Watch, Teten Masduki juga mencurigai ada upaya beberapa pihak untuk melakukan pembusukan terhadap pengadilan tipikor terutama menghilangakan peran hakim karir di dalam pengadilan tipikor.
“Prestasi yang didapatkan pengadilan tipikor ini cukup membanggakan karena tidak ada satu pun koruptor yang dinyatakan bebas saat di adili di pengadilan tipikor, tidak heran bila MA dan Komisi III DPR selalu mengkritisi setiap keputusan tipikor, †katanya.
Pentingnya keberadaan pengadilan tipikor untuk memberantas korupsi diakui langsung oleh salah satu mantan tim KPK Amin Sunaryadi, menurut hematnya, pengadilan tipikor merupakan cerminan dari pengadilan yang bagus, bersih dan kredibel.
“Penelitian saya menunjukkan bahwa sejak tahun 1956 hingga tahun 2008, Indonesia tidak akan bisa memberantas korupsi jika tidak mempunyai pengadilan yang bagus, bersih dan kredibel,â€tandasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)