YOGYAKARTA – Kota semarang saat ini telah mengalami deindustrialisasi. Akibat dari dampak urbanisasi berlebih, dimana tingkat urbanisasi tidak diimbangi tingkat industrialisasi. Bahkan, kepadatan penduduk kota semarang juga telah menyebabkan daya dukung lingkungan dan daya tampung sosial menjadi rendah. Hal itu dikemukan Dosen Teknik Sipil Universitas Negeri Semarang, Ir. Saratri Wilonoyudho, M.Si., dalam ujian terbuka promosi doktor bidang prodi ilmu kependukukan Sekolah Pascasarjana UGM yang berlangsung di ruang auditorium Fakultas Geografi, Sabtu (19/11).
Dalam disertasinya yang berjudul ‘Determinan dan Dampak Urbanisasi Berlebih di Kota Semarang’, Saratri menegaskan kota semarang terjadi kecenderungan urbaniasasi dengan pola menyebar yang ditandai pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi di kabupaten-kabupaten di sekitar kota semarang. Selain, berdampak pada kerusakan lingkungan, kemacetan lalu lintas dan tingginya angka kejahatan, peran sektor industri dan pertanian di Kota Semarang cenderung menurun, sebaliknya sektor informal justru semakin meningkat. “Urbanisasi di kota semarang justru memunculkan gejala involusi kota yakni terus meningkatnya jumlah pekerja di sektor informal dengan produtivitas rendah, sebagaimana ditunjukkan pada PDRB (produk domestik regional bruto) sektor industri di kota semarang yang relatif kecil dibandingkan PDRB di sektor jasa atau perdagangan,†katanya.
Dia menyebutkan, arus migrasi masuk ke kota semarang dilihat dari kelompok umur 25-29 sampai 35-39 baik laki-laki maupun perempuan telah terjadi kenaikan yang cukup tajam. Tahun 1997, kelompok umur 25-29 jumlah penduduk lak—laki sekitar 56.409 dan penduduk perempuan 57.827, sepuluh tahun kemudian atau tahun 2007, jumlahnya melonjak tajam, yakni masing-masing 78.093 untuk laki-laki dan 77.228 untuk perempuan. Sebagian besar bekerja disektor informal atau jasa sebesar 81,9%. Dan hanya 18,09 % yang bekerja di sektor industri.
Akibat dari dampak urbanisasi berlebihan tersebut, katanya, pemerintah kota semarang kelebihan beban anggaran karena harus membiayai infrastruktur dan pelayanan sosial ekonomi dengan biaya tinggi yang tidak sebanding dengan produktivitas sebagian besar warganya yang bekerja di sektor informal. Namun demikian, imbuhnya, kota semarang masih memiliki peluang untuk menata ulang perencanaan kota karena kota belum overpopulated seperti Jakarta karena ruang terbuka di kota ini masih cukup luas. “Kebijakan untuk mengurangi arus migrasi harus dilakukan secara silmultan baik antara kebijakan pembangunan di tingkat nasional dan regional, maupun antara pedesaan dan perkotaan,†katanya.
Menurutnya, kebijakan pembangunan pusat -pusat industri yang padat modal ditinjau kembali, industri kecil dan menengah yang berbasis pertanian perlu dikembangkan agar para petani dan buruh tani turut menikmati hasilnya. Tuntutan ini dikedepankan karena hasil penelitian ini menunjukkan bahwa buruh tani, petani dan pekerja tidak terampil sangat kecil penghasilannya. Strategi pemanfaatan kota sebaiknya diarahkan untuk lebih memperjelas hirarkhi kota dengan menghindari dominasi kota Semarang terhadap daerah di belakangnya tersebar dan diharapkan dapat lebih menyebarkan hasil-hasil pembangunan.
Ketua tim penguji, Prof. Dr. Hartono, DEA., DESS mengatakan promovenduz lulus dengan predikat cumlaude dan sebagai Doktor ke-1512 yang lulus dari UGM. Bertindak sebagai promotor, Prof. Dr. Yeremias T. keban, MURP., dan Ko-promotor Prof. Ir. Bakti Setiwan, MA., Ph.D., dan Prof. Dr. R. Rijanta, M.Sc. (Humas UGM/Gusti Grehenson)