Neokolonialisme telah lahir dan menemukan bentuknya ketika globalisasi mengganas-menyergap bumi selatan. Saat ini bumi dikuasai oleh trans National Corporation (TNC). TNC yang didirikan tahun 1995 ini, hampir 100 anggotanya tergabung dalam WTO dan memonopoli 75% perdagangan dunia.
Dalam setting globalisasi seperti itu, hutan menjadi salah satu sumberdaya strategis yang diperebutkan. Banyak negara-negara Utara melindungi sumberdaya hutan alamnya, sementara kebutuhan akan kayunya dipenuhi dari Selatan.
Demikian pernyataan Kepala SubDit dan Pengembangan, Direktorat Konservasi Kawasan, Ditjen PHKA, Departemen Kehutanan RI, Ir Wiratno MSc saat berlangsung diskusi Policy Corner bertema “Illegal Logging dan Perambahan Hutan di Indonesia”, Senin (28/7) di Gedung Masri Singarimbun UGM.
Menurut Wiratno, di tingkat regional Asia Tenggara demand akan produk kayu semakin meningkat. China, dicontohkan, pada tahun 2002 telah mengimpor kayu sebanyak 95 juta m3 (lebih banyak imort kayu daripada plywood, lebih banyak impor pulp daripada kertas). Padahal kebijakan di negaranya stop logging, sehingga sumber kayunya mengandalkan dari Rusia, Indonesia, Malaysia dan Canada.
“Tingkat impor kayu China meningkat 75% dibanding tahun 1997. Sepuluh tahun lalu ia menjadi importir ketujuh terbesar di dunia, kini ia telah meningkat menjadi importir kedua terbesar. Ini tentu saja berdampak pada meningkatnya illegal loging dan kerusakan hutan,” paparnya.
Dikatakan, negara-negara blok G8 terus memberikan perhatian akan pentingnya sustainable forest management, meski disisi lain melanjutkan impor kayu illegal. Menurut catatan EIA (2001) pada tahun 1998 kelompok G8 dan EU mengimpor 280 juta m3 produk kayu atau setara dengan 74% impor kayu dan produk kayu dunia. Amerika Serikat di tahun 2002 mengimpor kayu lebih dari $ USD 450 juta. Apabila didasarkan tingkat illegal logging sebesar 70% di Indonesia saat itu, maka bisa dikatakan AS mengimpor kayu curian senilai $ USD 330 juta dari Indonesia.
“EU mengimpor kayu tropis sebesar 10 juta m3 pada tahun 1999, dimana hampir separuh berasal dari tiga negara pengekspor Indonesia, Brazil dan Cameroon. Dengan menganalisis tingkat illegal logging di tiga negara pengekspor tersebut dapat dinilai bahwa separuh kayu yang masuk ke EU berasal dari sumber-sumber ilegal, senilai $ USD 1,5 milyar per tahun,” jelas Wiratno.
Dalam diskusi yang diselenggarakan Magister Studi Kebijakan UGM ini, Wiratno lebih lanjut menerangkan, ketika stok kayu di hutan-hutan produksi mulai menipis, illegal logging mengarah pada kawasan-kawasan konservasi, antara lain taman-taman nasional serta mengarah ke Indonesia Bagian Timur, Papua. Taman Nasional Tanjung Puting Kalimantan Tengah menjadi gambaran paling nyata bagaimana illegal logging terhadap ramin menghancurkan taman nasional yang telah ditetapkan sebagai salah satu dari 6 Cagar Biosfer di Indonesia.
Wiratno mengingatkan tanpa pemerintahan yang legitimate dan kuat, proses “harakiri” terhadap sumberdaya hutan Indonesia akan terus berlangsung. Politik nasional, kata dia, harusnya berpihak pada konservasi dan rehabilitasi sumberdaya hutan, seperti telah dicanangkan oleh Departemen Kehutanan tahun 2002-2020.
“Hutan Indonesia harus dikelola dengan nuansa investasi untuk rehabilitasi dan konservasi. Selama pendompleng (free riders) masih bermain dan memainkan peran dalam menentukan kebijakan nasional pengelolaan hutan, sulit rasanya memiliki harapan, mimpi menyelamatkan hutan Indonesia yang tersisa untuk dikelola dengan baik. Bila konservasi tidak melahirkan gerakan nasional, menjadi gerakan sosial atau bahkan menjadi gaya dan pilihan hidup masyarakat Indonesia, maka doomsday seperti ramalan Holmes (2002) akan terjadi, hutan tropis dataran rendah di Sumatra habis di tahun 2005 dan di Kalimantan pada tahun 2010,” tukasnya (Humas UGM)