Perkembangan bentuk pertunjukan seni Sakura dari tahun 1986 sampai dengan tahun 2009 mengalami fluktuasi. Dalam perkembangannya, seni pertunjukan ini selalu terkait dengan kehidupan sosial masyarakatnya.
Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, FKIP Universitas Lampung, I Wayan Mustika, S.Sn., M.Hum berpendapat kehidupan sosial masyarakat yang mengiringi perkembangan seni pertunjukan Sakura, diantaranya adalah cara berperilaku dalam kehidupan masyarakatnya dan bagaimana mereka mengapresiasi sebuah seni pertunjukan Sakura. “Pada tahun 1986 seni Sakura masih ditampilkan dengan cara-cara sangat sederhana, dan pada masa itu terjadi kerusuhan antara pemain sakura yang disebabkan oleh faktor fiil pesenggiri dan buay, sempat terhenti dan di tahun 1990 sampai 2000 mulai ditampilkan kembali meski masih dengan cara-cara sederhana,” ujarnya di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (21/11).
I Wayan Mustika mengatakan hal itu saat menempuh ujian terbuka Doktor Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana UGM. Didampingi promotor Prof. Dr. R.M. Soedarsono dan ko-promotor Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc, promovendus mempertahankan desertasi “Perkembangan Bentuk Pertunjukan Sakura Dalam Konteks Kehidupan Masyarakat Lampung Barat Tahun 1986-2009”.
Menurut Wayan Mustika, di tahun 2001 sampai tahun 2009 seni pertunjukan Sakura mengalami perkembangan yang sangat pesat. Di tahun itu, cara-cara berpenampilan para pemain Sakura sudah dipengaruhi budaya kota serta berbagai tayangan televisi. “Pertunjukan ini tidak lagi hanya ditampilkan di daerah Lampung, namun juga sampai ke Pulau Jawa seperti TMII dan Yogyakarta,” tuturnya.
Dalam disertasi disebutkan fungsi seni pertunjukan Sakura pada mulanya sebagai sarana pemujaan untuk syukuran panen dan keselamatan desa. Namun Seni Sakura kini telah memiliki beberapa fungsi. Disamping sebagai sarana sosialisasi, seni ini bisa berperan sebagai penjaga solidaritas sosial, hiburan dan penyajian estetis.
Penyelenggaraan seni sakura yang bertepatan pada hari raya Idul Fitri, mengingatkan agar masyarakat Liwa yang berada di luar desa atau berada di daerah lain dapat berkumpul kembali, sehingga tidak kehilangan sanak saudara, kekerabatan, maupun komunikasi. Sebab pada kenyataan masyarakat Liwa takut kehilangan saudara, sehingga menjadikan mereka hingga kini menjaga sangat baik sistim kekerabatan, termasuk buay dan piil. Kehadiran seni Sakura ini sangat membantu bagi masyarakat yang memiliki saudara jauh di luar Liwa untuk berkumpul kembali. “Untuk itu, pertunjukan ini tetap diselenggarakan dan sudah menjadi tradisi wairas turun menurun,” ungkap Wayan Mustika.
Diakhir disertasi, Wayan menegaskan perlu untuk mempertahankan harga diri piil, buay dan Seni Sakura sebagai kearifan lokal di Jawa Kabupaten lampung Barat khususnya di Desa Kenali, Canggu, Kegeringan, dan Kuta Besi. Sebab seni ini merupakan ajang berkumpul masyarakat dari berbagai kalangan dan usia. (Humas UGM/ Agung)