YOGYAKARTA – Perjanjian damai GAM-RI yang diikat dalam MoU Helsinki dapat tercapai manakala pemerintah RI telah mengembalikan kewenangan untuk mengurus Aceh kepada orang Aceh dalam bingkai NKRI. Kewenangan ini sebagai instrumen untuk menjaga eksistensi Aceh, baik sebagai sebuah bangsa maupun sebagai Negara. Dengan demikian, gagasan tentang kemerdekaan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebelumnya berkaitan erat dengan kewenangan atau otoritas untuk mengurus diri sendiri masyarakat Aceh.
Hal itu dikemukakan Dosen Fisip Universitas Malikussaleh Lhoksumawe, Aceh, M. Nazaruddin, dalam ujian terbuka program doktor ilmu sosiologi di fisipol UGM, Sabtu (3/12). Dalam disertasi hasil penelitiannya, dia mengatakan perjanjian damai RI dan GAM dalam bentuk pembagian wewenang merupakan sebagai kemenangan politik representasi perlawanan GAM terhadap RI. Namun disisi lain, bentuk takluknya GAM tehadap realitas politik dan skema politik yang ditawarkan oleh RI. “yang tidak kalah penting, pemerintah RI pun menyadari bahwa Indonesia yang plural harus dikelola dengan strategi politik multicultural,†katanya.
Dia menambahkan, perjanjian damai tersebut dapat tercapai karena adanya pemberian kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah Aceh. Sedangkan pemerintah pusat hanya memiliki enam di Aceh adalah hubungan politik luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama.
Penyelesaian pertikaian politik antara GAM dan RI dapat dicapai melalui jalan dialogis, jadi bukti bahwa suatu pertikaian politik tidak bisa diselesaikan dengan logika kekerasan tetapi pertikaian politik hanya dapat diselesaikan dengan jalan politik diantara kedua belah pihak dengn didasarkan pada itikad saling memahami, memberi dan menerima. (Humas UGM/Gusti Grehenson)