• Berita
  • Arsip Berita
  • Simaster
  • Webmail
  • Direktori
  • Kabar UGM
  • Suara Bulaksumur
  •  Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada
  • Pendidikan
    • Promosi Doktor
    • Pengukuhan Guru Besar
    • Wisuda
  • Prestasi
  • Penelitian dan Inovasi
    • Penelitian
    • PKM
    • Inovasi Teknologi
  • Seputar Kampus
    • Dies Natalis
    • Kerjasama
    • Kegiatan
    • Pengabdian
    • Kabar Fakultas
    • Kuliah Kerja Nyata
  • Liputan
  • Cek Fakta
  • Beranda
  • Liputan/Berita
  • Pernikahan Anak Berdampak Pada Kesehatan Reproduksi

Pernikahan Anak Berdampak Pada Kesehatan Reproduksi

  • 07 Desember 2011, 20:24 WIB
  • Oleh: Agung
  • 13378
Pernikahan Anak Berdampak Pada Kesehatan Reproduksi

Pernikahan anak hingga saat ini masih menjadi persoalan serius secara global. Data UNICEF menyebut di tahun 2010, 60% anak perempuan di dunia menikah di usia kurang dari 18 tahun. Sementara di Indonesia, sebanyak 34,5% anak perempuan menikah dibawah usia 19 tahun. Selain belum selarasnya satu peraturan dengan peraturan lain, UU Perlindungan Anak, UU Perkawinan juga Konvensi Hak Anak dan Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah dirativikasi Pemerintah Indonesia, faktor ekonomi, interprestasi terhadap ajaran agama dan masih kuatnya budaya patriarkhi menjadi penyebab terjadi dan tingginya praktik pernikahan anak. Disamping pada putusnya akses pendidikan, pernikahan anak juga berdampak secara psikologis, ekonomi dan kesehatan reproduksi.

Menurut peneliti di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Basilica Dyah Putranti, fenomena pernikahan anak di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari tradisi pernikahan yang mengakar pada masyarakat setempat. Dalam hal ini, meski telah terjadi banyak perubahan tata nilai dalam masyarakat keluarga tetap memiliki peranan yang sangat besar dalam proses pengambilan keputusan.

Dikatakannya salah satu penyebab pernikahan anak adalah kemiskinan. Karena anak perempuan dianggap sebagai beban ekonomi keluarga. Dengan demikian tujuan pernikahan adalah untuk meringankan beban ekonomi keluarga. Sehingga tidak mengherankan bila orang tua akan menikahkan anak perempuannya segera setelah ia mendapatkan menstruasi. Padahal dengan mendorong anak menikah, anak perempuan justru masuk dalam lingkaran kemiskinan baru, karena secara ekonomi ia tetap bergantung pada suami dan orangtuanya. "Apalagi setelah adanya kehadiran anak, maka semakin menambah beban ekonomi keluarga," ujarnya, di Auditorium PSKK UGM, Rabu (7/12).

Dalam pandangan Dyah Putranti, muatan dan implementasi hukum terkait pernikahan turut mendorong terjadinya pernikahan anak. UU Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang usia minimal kawin 16 tahun bagi anak permepuan, serta Kompilasi Hukum Islam tentang dispensasi pernikahan anak di bawah 16 tahun merupakan dua produk hukum yang kemudian menggiring anak perempuan dalam situasi pernikahan. Belum lagi ditambah berbagai kasus penyalahgunaan wewenang oleh oknum aparat pemerintah juga semakin mentoleransi praktik pernikahan anak.

Berbicara pada Diskusi bertema "Pernikahan Anak di Indonesia" yang diselenggarakan PSKK UGM bersama SCN CREST, LSPPA, LkiS Perempuan dan PLIP Mitra Wacana, Dyah menandaskan praktik pernikahan anak menimbulkan dampak bagi anak laki-laki dan perempuan. Salah satu dampak pernikahan anak yang cukup signifikan adalah kesehatan reproduksi. Hampir di semua wilayah penelitian yang ia lakukan, anak perempuan yang menikah pada usia anak berpotensi mengalami kehamilan beresiko tinggi. Berbagai kasus komplikasi kehamilan anak perempuan yang menikah pada usia anak cukup tinggi, terutama di daerah Nusa Tenggara Timur dan Barat. "Sementara rendahnya kasus komplikasi kehamilan di Jawa dan Bali lebih disebabkan karena ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan relatif lebih baik," tambahnya.

Hasil penelitian yang dilakukan di Jawa, NTB dan NTT memperlihatkan anak perempuan yang menikah pada usia muda rentan terhadap tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Kasus KDRT ini banyak ditemui anak perempuan di Sikka, Lembata, Domp, Indramayu dan Rembang. Terjadinya KDRT tak jarang dipicu oleh tekanan adat yang menempatkan anak perempuan pada posisi yang rentan. "Terkait adat belis di Sikka misalnya, menjadikan pihak suami merasa telah membeli istri melalui pemberian belis, sehingga ia merasa berhak melakukan kekerasan terhadap istri," imbuh Dyah Putranti.

Drs. H. Faturrohman Ghozalie, LC, MH dari Pengadilan Agama Kabupaten Gunung Kidul mengungkapkan terjadi peningkatan jumlah pernikahan anak dari tahun ke tahun. Data Pengadilan Agama Gunung Kidul mencatat di tahun 2009 laki-laki usia dibawah 19 tahun yang melakukan pernikahan mencapai 24 kasus, tahun 2010 62 kasusdan di tahun 2011 sebanyak 82 kasus. Sementara perempuan usia dibawah 16 tahun yang melakukan pernikahan, di tahun 2009 sebanyak 22 kasus, tahun 2010 58 kasus dan tahun 2011 sebanyak 57 kasus. "Tidak mungkin kami menolak menikahkan, karena mereka yang datang dalam kondisi hamil. Semua itu kami lakukan demi kemaslahatan, terutama untuk bayi yang dikandung," katanya.

Rendahnya tingkat pendidikan, kata Faturrohman menjadikan mereka tidak mengetahui berbagai dampak negatif dari pernikahan anak. Dengan demikian meraka menikah tanpa memiliki bekal yang cukup. "Tentang dampak bagi kesehatan reproduksi, mereka tentu tidak tahu. Untuk itu perlu sosialisasi dampak negatif ini, karena rata-rata mereka hanya lulusan SD," terangnya. (Humas UGM/ Agung)

Berita Terkait

  • Pernikahan Dini Rawan Menyebabkan Perceraian dan Bunuh Diri

    Friday,28 October 2016 - 11:14
  • Menteri Yohana: Perlu Usaha Bersama Putus Mata Rantai Perkawinan Anak

    Sunday,21 October 2018 - 5:11
  • Pernikahan di Bawah Umur: Perlu Aturan Detail dan Sanksi Tegas

    Wednesday,06 May 2009 - 16:47
  • Sekolah Cegah Remaja Melakukan Seks Pranikah

    Monday,24 July 2017 - 13:38
  • Mendorong Kesehatan Ibu, Bayi, dan Anak melalui KB

    Monday,29 June 2009 - 16:04

Rilis Berita

  • Cegah Diabetes Pada Anak Dengan Membatasi Makanan Manis dan Lakukan Aktivitas Fisik 06 February 2023
    Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat kasus diabetes pada anak meningkat signifikan pada t
    Ika
  • Tim Peneliti UGM Lakukan Riset Inverter Statik Kereta Api 06 February 2023
    Tim peneliti dari Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, Fakultas Teknik Univers
    Gusti
  • Mahasiswa KKN UGM Kembangkan Wisata Panas Bumi Kawah Sikidang 06 February 2023
    Dataran Tinggi Dieng merupakan kompleks gunung api. Selain menjadi sumber energi panas bumi denga
    Gusti
  • Lebih dari 3 Ribu Mahasiswa UGM Terima Insentif Prestasi Sebesar 2 Miliar di 2022 06 February 2023
    UGM berkomitmen kuat untuk terus mendukung dan memfasilitasi para mahasiswanya dalam pengembangan
    Satria
  • UGM Terlibat Aktif Dalam Percepatan Penurunan Stunting di Jawa Tengah 03 February 2023
    Stunting masih menjadi persoalan kesehatan di Indonesia. Data Asian Development Bank mencatat ang
    Ika

Agenda

  • 07Feb Dies Natalis Fakultas Hukum UGM...
  • 02Jul Dies Natalis MM UGM...
Universitas Gadjah Mada
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Bulaksumur Yogyakarta 55281
   info@ugm.ac.id
   +62 (274) 6492599
   +62 (274) 565223
   +62 811 2869 988

Kerja Sama

  • Kerja Sama Dalam Negeri
  • Alumni
  • Urusan Internasional

TENTANG UGM

  • Sambutan Rektor
  • Sejarah
  • Visi dan Misi
  • Pimpinan Universitas
  • Manajemen

MENGUNJUNGI UGM

  • Peta Kampus
  • Agenda

PENDAFTARAN

  • Sarjana
  • Pascasarjana
  • Diploma
  • Profesi
  • Internasional

© 2023 Universitas Gadjah Mada

Aturan PenggunaanKontakPanduan Identitas Visual