Pernikahan anak hingga saat ini masih menjadi persoalan serius secara global. Data UNICEF menyebut di tahun 2010, 60% anak perempuan di dunia menikah di usia kurang dari 18 tahun. Sementara di Indonesia, sebanyak 34,5% anak perempuan menikah dibawah usia 19 tahun. Selain belum selarasnya satu peraturan dengan peraturan lain, UU Perlindungan Anak, UU Perkawinan juga Konvensi Hak Anak dan Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah dirativikasi Pemerintah Indonesia, faktor ekonomi, interprestasi terhadap ajaran agama dan masih kuatnya budaya patriarkhi menjadi penyebab terjadi dan tingginya praktik pernikahan anak. Disamping pada putusnya akses pendidikan, pernikahan anak juga berdampak secara psikologis, ekonomi dan kesehatan reproduksi.
Menurut peneliti di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Basilica Dyah Putranti, fenomena pernikahan anak di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari tradisi pernikahan yang mengakar pada masyarakat setempat. Dalam hal ini, meski telah terjadi banyak perubahan tata nilai dalam masyarakat keluarga tetap memiliki peranan yang sangat besar dalam proses pengambilan keputusan.
Dikatakannya salah satu penyebab pernikahan anak adalah kemiskinan. Karena anak perempuan dianggap sebagai beban ekonomi keluarga. Dengan demikian tujuan pernikahan adalah untuk meringankan beban ekonomi keluarga. Sehingga tidak mengherankan bila orang tua akan menikahkan anak perempuannya segera setelah ia mendapatkan menstruasi. Padahal dengan mendorong anak menikah, anak perempuan justru masuk dalam lingkaran kemiskinan baru, karena secara ekonomi ia tetap bergantung pada suami dan orangtuanya. “Apalagi setelah adanya kehadiran anak, maka semakin menambah beban ekonomi keluarga,” ujarnya, di Auditorium PSKK UGM, Rabu (7/12).
Dalam pandangan Dyah Putranti, muatan dan implementasi hukum terkait pernikahan turut mendorong terjadinya pernikahan anak. UU Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang usia minimal kawin 16 tahun bagi anak permepuan, serta Kompilasi Hukum Islam tentang dispensasi pernikahan anak di bawah 16 tahun merupakan dua produk hukum yang kemudian menggiring anak perempuan dalam situasi pernikahan. Belum lagi ditambah berbagai kasus penyalahgunaan wewenang oleh oknum aparat pemerintah juga semakin mentoleransi praktik pernikahan anak.
Berbicara pada Diskusi bertema “Pernikahan Anak di Indonesia” yang diselenggarakan PSKK UGM bersama SCN CREST, LSPPA, LkiS Perempuan dan PLIP Mitra Wacana, Dyah menandaskan praktik pernikahan anak menimbulkan dampak bagi anak laki-laki dan perempuan. Salah satu dampak pernikahan anak yang cukup signifikan adalah kesehatan reproduksi. Hampir di semua wilayah penelitian yang ia lakukan, anak perempuan yang menikah pada usia anak berpotensi mengalami kehamilan beresiko tinggi. Berbagai kasus komplikasi kehamilan anak perempuan yang menikah pada usia anak cukup tinggi, terutama di daerah Nusa Tenggara Timur dan Barat. “Sementara rendahnya kasus komplikasi kehamilan di Jawa dan Bali lebih disebabkan karena ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan relatif lebih baik,” tambahnya.
Hasil penelitian yang dilakukan di Jawa, NTB dan NTT memperlihatkan anak perempuan yang menikah pada usia muda rentan terhadap tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Kasus KDRT ini banyak ditemui anak perempuan di Sikka, Lembata, Domp, Indramayu dan Rembang. Terjadinya KDRT tak jarang dipicu oleh tekanan adat yang menempatkan anak perempuan pada posisi yang rentan. “Terkait adat belis di Sikka misalnya, menjadikan pihak suami merasa telah membeli istri melalui pemberian belis, sehingga ia merasa berhak melakukan kekerasan terhadap istri,” imbuh Dyah Putranti.
Drs. H. Faturrohman Ghozalie, LC, MH dari Pengadilan Agama Kabupaten Gunung Kidul mengungkapkan terjadi peningkatan jumlah pernikahan anak dari tahun ke tahun. Data Pengadilan Agama Gunung Kidul mencatat di tahun 2009 laki-laki usia dibawah 19 tahun yang melakukan pernikahan mencapai 24 kasus, tahun 2010 62 kasusdan di tahun 2011 sebanyak 82 kasus. Sementara perempuan usia dibawah 16 tahun yang melakukan pernikahan, di tahun 2009 sebanyak 22 kasus, tahun 2010 58 kasus dan tahun 2011 sebanyak 57 kasus. “Tidak mungkin kami menolak menikahkan, karena mereka yang datang dalam kondisi hamil. Semua itu kami lakukan demi kemaslahatan, terutama untuk bayi yang dikandung,” katanya.
Rendahnya tingkat pendidikan, kata Faturrohman menjadikan mereka tidak mengetahui berbagai dampak negatif dari pernikahan anak. Dengan demikian meraka menikah tanpa memiliki bekal yang cukup. “Tentang dampak bagi kesehatan reproduksi, mereka tentu tidak tahu. Untuk itu perlu sosialisasi dampak negatif ini, karena rata-rata mereka hanya lulusan SD,” terangnya. (Humas UGM/ Agung)