Arsip Perguruan Tinggi bisa melakukan pemusnahan terhadap beberapa arsip yang dimiliki. Pemusnahan arsip di lingkungan Perguruan Tinggi Negeri dengan memiliki retensi di bawah 10 tahun ditetapkan oleh pimpinan satuan kerja dan civitas akademika di lingkungan PTN tersebut. “Tentu saja semua itu setelah mendapat persetujuan rektor, atau berdasar pertimbangan tertulis dari kepala arsip yang bersangkutan,” ungkap Deputi Bidang Konservasi ANRI, Drs. Mustari Irawan, MPA di Sekolah Pascasarjana UGM, Sabtu (10/12) pada Seminar Nasional Kearsipan bertema “Arsip Sebagai Memori Kolektif Perguruan Tinggi dan Sumber Penelitian”.
Menurut Mustari, retensi sepuluh tahun ini ditetapkan oleh rektor, atau berdasar hasil penilaian Panitia Pemusnahan arsip serta pertimbangan tertulis dari kepala arsip PTN yang bersangkutan dan pimpinan lembaga negara induknya. Sedangkan untuk beberapa arsip statis PTN wajib diserahkan kepada Arsip PTN yang bersangkutan. “Penetapan arsip statis pada PTN ini dilakukan rektor atau pelaksana serah terima statis dari satuan kerja dan civitas akademika di lingkungan PTN kepada Kepala Arsip PTN yang bersangkutan,” tambahnya.
Membahas pengembangan sumber daya manusia kearsipan, Mustari menjelaskan dibutuhkan pengembangan sumber daya manusia yang terdiri atas kearsipan dan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan profesionalitas di bidang kearsipan. Oleh karena itu Lembaga kearsipan nasional melaksanakan pembinaan dan pengembangan arsiparis melalui pengadaan arsiparis, pengembangan kompetensi dan keprofesionalan arsiparis. “Hal itu dilakukan dengan melakukan penyelenggaraan, pengaturan, serta melakukan pengawasan pendidikan dan pelatihan kearsipan,” jelasnya.
Pengembangan SDM lain dilakukan adalah melalui pengaturan peran dan kedudukan hukum arsiparis. Selain itu juga menyediakan jaminan kesehatan dan tunjangan profesi untuk sumber daya kearsipan.
Prof. Dr. H. Nandang Alamsah D., S.H., M.Hum, koordinator program doktor Universitas Padjajaran sekali lagi mengingatkan tidak semua berkas/ dokumen adalah arsip. Permasalahan pokok inilah yang seringkali dihadapi bidang kearsipan, yaitu berusaha menemukan atau memilih secara cermat dan tepat dari setumpuk berkas/ dokumen yang diterimanya. Sebab kearsipan merupakan rangkaian mekanisme yang berkesinambungan sejak dalam bentuk verbal tataberkas/file, arsip semistatis sampai menjadi arsip statis yang harus diserahkan kepada Arsip Nasional Republik Indonesia.
Penilaian arsip inilah yang menjadi tugas paling sulit dalam ilmu pengetahuan arsip. “Menentukan nilai arsip merupakan suatu tindak mengadili dan oleh karena itu sedikit banyak mengandung nilai subyektif,” papar nandang Alamsah mengutip pendapat beberapa pakar saat membawakan makalah “Arsip, Lembaga Kearsipan Dan Aspek Hukumnya di Indonesia”.
Kesulitan melakukan penilaian arsip ini disebabkan arsip-arsip/ berkas arsip yang akan dinilai memiliki sifat yang beraneka ragam. Beberapa arsip bersifat tunggal dalam arti arsip yang bersangkutan mempunyai kegunaan terlepas daripada kaitannya dengan arsip-arsip/ berkas lainnya. Disamping itu ada beberapa arsip yang baru bernilai jika terhimpun dalam satu berkas dengan arsip-arsip lain yang masalahnya sama. “Suatu arsip atau sekelompok arsip terkadang memiliki bermacam-macam nilai kegunaan, baik bagi kepentingan organisasi pencipta arsip sebagai nilai primer maupun nilai kegunaan bagi kepentingan lainnya sebagai nilai sekunder,” imbuhnya.
Dalam seminar yang diselenggarakan Arsip Universitas Gadjah Mada, ini hadir dan turut berbicara Peneliti dan Sejarawan UI, penerima Nation Building Award 2011, Dra. Mona Lohanda, M.Phil, Sejarawan dan Kaprodi Sejarah FIB UGM, Dr. Sri Margana. Kegiatan yang diikuti para peneliti dan insan kearsipan dari Jawa, Sumatra dan Kalimantan, ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan pemahaman baru tentang arsip sebagai sumber penelitian baik dari sisi pengelolaan maupun pemanfaatannya. (Humas UGM/ Agung)