YOGYAKARTA-Dari sudut pandang internasional tidak banyak yang telah dilakukan Indonesia untuk menunjukkan keseriusannya dalam perjuangan global melawan korupsi. Indonesia memang telah meratifikasi UNCAC lewat Undang-undang No.7 tahun 2006, tetapi tidak ada tindak lanjut dari pemerintah terhadap laporan StAR (the Stolen Asset Recovery) Initiative, hasil dari kerja sama antara Bank Dunia dan the Office on Drugs and Crime di bawah PBB, yang disusun untuk melengkapi ketentuan-ketentuan UNCAC. Laporan itu menempatkan mantan presiden Soeharto di puncak daftar pemimpin dunia yang korup-ia diduga menyelewengkan asset negara senilai 15-35 milyar dolar.
“Sebuah nilai yang fantastis untuk negeri dengan rerata GDP (Gross Domestic Product) tahunan sejumlah 86,6 milyar dolar,â€urai Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, peneliti Institute of International Studies (IIS) FISIPOL UGM, pada Seminar ‘Pentingnya Diplomasi dan Politik Luar Negeri dalam Pemberantasan Korupsi’ Selasa (13/12) di UC UGM.
Rachmat Yuliantoro menambahkan selain itu sebelumnya majalah TIME edisi 24 Mei 1999 juga pernah menulsi bahwa Soeharto dan keluarganya memiliki uang dalam jumlah sangat besar di beberapa rekening bank luar negeri, juga saham dan property, senilai total 15 milyar dolar. Soeharto menolak keras soal ini, bahkan memperkarakan TIME atas dasar pencemaran nama baik.
“Tidak kita temukan keseriusan dari mereka yang berwenang, termasuk pejabat badan antikorupsi Indonesia dan para diplomat, untuk menelusuri benar-tidaknya kedua laporan ini,â€jelas Rachmat yang juga pengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional (HI) UGM tersebut.
Ia menegaskan bahwa korupsi telah menjadi budaya yang sangat sulit dihilangkan dari Indonesia. Seolah publik domestik sudah merasa pesimis dengan kondisi tersebut, tidak mudah pula bagi para diplomat (dan para pelajar Indonesia di luar negeri) untuk menyampaikan kepada masyarakat internasional akan ‘keberhasilan’Indonesia dalam memberantas korupsi. Di Indonesia, lanjut Rachmat, citra sebagai salah satu negara terkorup di dunia seakan membenarkan penilaian bahwa peran politik luar negeri dan diplomasi dalam pemberantasan korupsi lebih tampak sebagai façade atau ilusi, terlebih di mana kasus-kasus korupsi besar tidak bisa lepas dari kepentingan politik yang berseberangan dan berpotensi melemahkan pembangunan bangsa.
Sementara itu Kepala Seksi Hukum dan Kejahatan Transnasional dan Ekstradisi Kementerian Luar Negeri, Indra Rosandry menjelaskan peran Kementerian Luar Negeri dalam menyampaikan dan menerima permintaan bantuan Mutual Legal Assistance (bantuan hukum timbal balik) maupun ekstradisi. Indra juga mencontohkan adanya beberapa kendala dalam menegakkan peran Kemenlu tersebut. Kendala itu diantaranya pada proses ekstradisi yang merupakan judicial process yang memberikan hak tersangka/terpidana untuk melakukan banding hingga tingkat akhir.
“Hal ini dapat berakibat proses ekstradisi menjadi lama,â€kata Indra.
Di tempat sama Mu’adz D’Fahmi, Fungsional Spesialis Kerjasama Internasional KPK, pada acara tersebut menjelaskan beberapa keberhasilan penanganan kasus korupsi oleh KPK serta pengembalian uang/aset ke negara yang mencapai sekitar Rp 2,67 trilyun (tahun 2010). Disamping itu kerjasama internasional yang telah dilakukan baik secara bilateral maupun multilateral dimana saat ini KPK telah menandatangani 22 MoU bilateral dengan lembaga-lembaga luar negeri.
“Selain itu KPK secara aktif juga telah berpartisipasi dalam lebih dari 30 forum multilateral seperti G20 WGAC, UNCAC, maupun ICPO-Interpol,â€kata Mu’adz.
Mu’adz menegaskan dalam konteks kejahatan melampaui batas-batas kenegaraan (transnationalized crime)penegakan hukum harus trans-nasional. Selain itu karena penegak hukum domestik tidak memiliki wewenang apa pun dalam yurisdiksi asing, maka kerjasama internasional adalah mutlak.
“Modal utama kerjasama internasional antar penegak hukum adalah saling percaya, hubungan baik, komunikasi, dan resiprositas,â€pungkasnya (Humas UGM/Satria AN)