
Kehadiran internet membawa dampak yang sangat luar biasa bagi kehidupan manusia. Adanya internet dan situs jejaring sosial, seperti facebook, twitter, dan blog menjadikan setiap individu dapat menyampaikan ekspresinya dengan cepat dan mudah. Namun sayang, kebebasan berekspresi melalui media baru di Indonesia belum begitu terarah dan terjadi penyimpangan di sana-sini. Tidak sedikit kasus yang terjadi, antara lain pencemaran nama baik, penculikan, penyebaran virus, dan pornografi.
Pakar Teknologi Informasi, Ono W. Purbo, mengatakan pemerintah memang telah berupaya untuk melakukan filter terhadap berbagai konten yang tidak baik. Namun, upaya tersebut bukanlah sesuatu yang mudah. Untuk itu, ia mengimbau masyarakat seyogianya bersikap bijak terhadap kehadiran internet dan menggunakannya dengan sehat.
Gerakan internet sehat digagas oleh ICT Watch yang salah satu pelopornya ialah Ono W. Purbo. Melalui ICT Wacth mereka mengenalkan dan mendorong pemakaian internet yang aman dan bermanfaat. Dengan gerakan ini diharapkan mampu mengangkat citra internet yang sepertinya telah lekat dengan hal-hal berbau pornografi. “Memfilter situs-situs yang tidak baik, seperti situs porno, bukanlah teknik yang gampang. Jika masyarakat memanfaatkan internet untuk menuliskan sesuatu yang positif dan bermanfaat, maka internet pun lama-kelamaan akan dipenuhi hal-hal yang positif. Kami berusaha mendorong untuk itu,†katanya, Rabu (14/12), di Fisipol UGM.
Dalam Seminar Nasional Media Baru itu, Ono juga membahas cara mengenalkan teknologi informasi kepada masyarakat. Menurutnya, terdapat dua cara yang bisa dilakukan. Untuk anak-anak, pengenalan IT dilakukan dengan pendekatan kesenangan, semisal melalui game. Sementara untuk yang telah dewasa, pengenalan IT dengan pendekatan manfaat.
Pernyataan senada dilontarkan oleh Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo, Gatot S. Dewa Brata. Diperlukan kearifan dalam menyikapi kehadiran media baru. Pemerintah seyogianya bisa bersikap bijak dan tidak reaktif. Selain itu, dalam menanggapi fenomena ini secara wajar tanpa harus menghabiskan energi.
Gatot juga mengimbau masyarakat untuk berhati-hati dalam menggunakan media baru ini. “Apa yang sudah terpublikasikan susah untuk ditarik kembali. Jadi, perlu dipikirkan dengan matang saat akan mem-posting sesuatu agar tidak merugikan diri sendiri dan orang banyak,†jelasnya.
Sementara itu, dosen Prodi Komunikasi UGM, Kuskridho Ambardi dalam seminar tersebut lebih banyak menyoroti tentang fenomena media shake up atau kocok ulang bisnis media di Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, fenomena kocok ulang bisnis media terjadi semakin intensif. Sejumlah kelompok melakukan merger dan akuisisi, melaksanakan manuver bisnis dengan pemikiran ke depan untuk mengantisipasi perkembangan teknologi digital. Sejumlah kelompok, sebut saja Kelompok Kompas Gramedia, Tempo, Media Indoensia, Mahaka, MRA, First Media, Jawa Pos Media Coorporation, MNC, dan Visi Media Asia, telah membangun korporasi lintas sektor yang merangkum bisnis televisi dan radio, media cetak, dan portal digital/internet.
Konglomerasi media di Indonesia memiliki sejumlah kemiripan dengan konglomerasi media global ketika semua sektor media tradisional dimasuki. Kelompok-kelompok tersebut saling berupaya memenangkan posisi dominan di setiap pasar media tingkat nasional dan lokal. Namun, pada level integrasi, lini bisnis dari hulu ke hilir dan layanan integrasi berbasis plafor digital konglomerasi media di Indonesia berbeda dengan yang terjadi pada konglomerasi media global.
“Grup Para, misalnya, baru saja membeli Detik.com. Namun, hingga saat ini Detik.com adalah unit yang terpisah, belum terintegrasi dengan Trans. Begitu juga dengan Kelompok KKG, Kompas TV, dan Kompas surat kabar merupakan unit-unit yang masih terpisah, baik dari pengelolaanya maupun layanan informasinya,†tutur Dodi, begitu ia akrab disapa. (Humas UGM/Ika)