YOGYAKARTA – Berulangnya reproduksi generasi teroris di Indonesia menunjukkan keterbatasan strategi pemerintah dalam memerangi terorisme. Target utama penangggulangan terorisme yang dilakukan pemerintah nampaknya terfokus pada mereka yang terlibat secara langsung dalam aktivitas terorisme. Sementara mereka yang tidak secara langsung berperan dalam proses rekrutmen terutama kegiatan penyebaran ideologi radikal, tidak dilihat sebagai ancaman serius. Fakta adanya interaksi antara kelompok radikal dan teroris menunjukkan pentingnya atmosfir radikal sebagai medan persemaian ideologi ekstrem.
Mohammad Iqbal Ahnaf, Ph.D., pengamat kekerasan dan perdamaian antar agama UGM, mengatakan satu hal yang belum mendapat perhatian serius adalah ruang yang memungkinkan mobilisasi ideologi ekstrem. “Karena itu diperlukan strategi yang bisa mempersempit ruang dan kesempatan mobilisasi ideologi ekstrem sangat dibutuhkan untuk melawan terorisme,†kata Iqbal Ahnaf saat menjadi pembicara seminar kekerasan, radikalisme dan bina damai di Indonesia di sekolah pasacasarjana UGM, Rabu (14/12).
Dosen program studi agama dan lintas budaya, Sekolah Pascasarjana, menjelaskan, program de-radikalisasi yang beberapa tahun terakhir dijalankan pemerintah lewat Badan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme (BNPT) sudah mulai menunjukkan perhatian terhadap aspek non langsung dari terorisme. Namun sejauh ini fokus program itu masih terbatas pada program rehabilitasi mantan teroris, dan penguatan kelompok moderat untuk menentang pemahaman agama yang menjustifikasi ektremisme.
“Penting buat Negara untuk kuat dalam komitmen politik dan konsisten dalam menegakkan hukum terhadap aktifitas radikalisme, bukan membubarkan organisasi radikal,†katanya.
Sementara Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Dr. Ali Muhammad menuturkan sampai saat ini terdapat 700-an orang yang sudah ditangkap terkait dengan hubungan jaringan teroris. Namun demikian, banyaknya pelaku yang ditangkap tersebut tidak menjadikan jaringan teroris dan ideologi terorisme menjadi lenyap. Fakta di lapangan menunjukkan terdapat penurunan kapasitas serangan terorisme. “Sampai terakhir bom Solo. Kemampuan serangan menurun drastis. Kapasitas serangan bom yang dulunya high explosive, sekarang lebih low explosive,†imbuhnya.
Dia berpendapat diperlukan strategi dan kebijakan dengan sasasran yang lebih tepat dengan pendekatan ideologi secara persuasif untuk melawan indoktrinasi paham terorisme.
Sosiolog, ahli konflik, dan gerakan islam, Najib Azca menegaskan proses rekrutmen jaringan teroris di lakukan pada kalangan pemuda yang baru beranjak dewasa. Kelompok umur ini sangat potensial direkrut karena belum memiliki kepribadian yang kuat dan tengah mencari tokoh panutan. “Ini problem kita menangani teroris. Karena kita kelangkaan figur pemimpin. Sehingga orang yang memiliki kepribadian kuat semacam Imam Samudra (pelaku teroris), bisa menarik simpati anak muda,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)