
YOGYAKARTA-Lingkungan keluarga dan sekolah (jalur formal) masih dirasakan menjadi saluran yang paling tepat dalam proses pembudayaan Pancasila. Demikian salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti UGM dari Pusat Studi Pancasila, Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, dan Pusat Pelayanan Teknologi Informasi dan Komunikasi, yakni Dr. Daud Aris Tanudirjo, M.A., Drs. Sindung Tjahyadi, M.Hum., Dr. Techn. Khabib Mustofa, Drs.Tri Kuntoro Priyambodo, M.Si., Drs. Hadi Sutarmanto, M.S., dan Prof. Dr. Janianton Damanik.
Judul penelitian yang diangkat kali ini ialah Pembudayaan Pancasila dalam Rangka Pembangunan Karakter Bangsa: Upaya Menyusun Grand Desain Pembudayaan Pancasila kepada Generasi Muda dalam Era Informatika. Penelitian tentang pembudayaan Pancasila dilakukan di lima wilayah, Sulawesi Selatan, Bali, Sumatera Barat, Yogyakarta, dan Jakarta. “Salah satu hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan keluarga dan sekolah (jalur formal) masih dirasakan menjadi saluran yang paling tepat dalam proses pembudayaan,†tutur Ketua Peneliti, Dr. Daud Aris Tanudirjo, M.A., dalam Seminar Desiminasi Hasil Penelitian di Ruang Multimedia Kantor Pusat UGM , Selasa (20/12).
Dari penelitian itu juga tampak bahwa efektivitas dari penggunaan metode dan media pembudayaannya sangat tergantung pada lingkungan komunikasi. Oleh karena itu, cara-cara pembudayaan modern melalui Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) dan cara-cara konvensional melalui media budaya memiliki potensi keberhasilan yang sama.
Dari hasil penelitian sementara, diperoleh kesimpulan bahwa media TV merupakan salah satu yang sangat berpengaruh dalam mengonstruksi pikiran masyarakat, termasuk generasi muda. Setidaknya ini yang telah dilakukan melalui uji coba pemanfaatan TV untuk pembudayaan Pancasila, yang bekerja sama dengan Jogja TV. “Lima kali siaran berupa dialog interaktif hasilnya cukup positif,†imbuh Daud.
Sementara itu, dari penelitian yang menggunakan FGD dan angket, terungkap bahwa materi pesan nilai-nilai Pancasila sudah cukup baik, tetapi metode indoktrinasi yang digunakan justru kontra-produktif. Di samping itu, untuk pengembangan materi diperlukan cara pengemasan yang ringan dan populer, tidak terlalu akademik, sehingga terasa berat.
Di tempat yang sama, Susilowati, guru SMA 3 Yogyakarta, mengakui selain kendala penguasaan berbagai metode pembelajaran, juga berhadapan dengan waktu yang tersedia dan kepadatan materi yang harus disampaikan. Pembudayaan Pancasila sebagai pendidikan nilai tidak bisa hanya mengandalkan guru mata pelajaran PKN. “Semua tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah hampir setiap hari berinteraksi dengan peserta didik sehingga pembudayaan Pancasila harus menjadi tanggung jawab semua orang dewasa di institusi itu,†ujar Susilowati.
Pembudayaan Pancasila di sekolah juga dapat dilakukan juga pada kegiatan-kegiatan non-akademis, seperti yang sering dilakukan para siswa SMA 3 Yogyakarta atau sekolah lain. Mereka mengangkat tema-tema kegiatan yang bernuansa kepedulian terhadap sesama, cinta tanah air, rasa kebangsaan, dll.
Komisaris Jogja TV, Drs. Oka Kusumayudha, menilai ada yang menganggap Pancasila ketinggalan zaman. Kalaupun dipelajari, seolah-olah hanya sebatas dihapal, padahal yang paling utama dan penting ialah mengaplikasikan Pancasila. “Ini persoalan serius bagaimana agar butir-butir Pancasila dapat melebur, merasuk dalam perilaku kehidupan sehari-hari,†kata Oka.
Ia mencontohkan beberapa langkah kecil yang telah dilakukan oleh Jogja TV. Semua presenter dalam membuka dan menutup acara diwajibkan menyapa pemirsa dengan ucapan “Salam Indonesiaâ€. Hal ini dimaksudkan untuk mengingatkan dan menyadarkan pemirsa bahwa kita adalah bangsa Indonesia. (Humas UGM/Satria AN)