Akhir-akhir ini, Indonesia gencar membangun kekuatan ekonomi melalui industri kreatif. Sayang, ‘industri kreatif’ ini dalam kenyataan masih menghadapi banyak tantangan dan pertanyaan. Bahkan, banyak produk industri kreatif menjadi sasaran empuk pembajakan. Yang memprihatinkan, pembajakan menunjukkan mereka tidak mampu lagi membangun ekuitas merek untuk bersaing dalam industri kreatif.
Demikian dikatakan Direktur PT Aseli Dagadu Djogja, Ir. Ahmad Noor Arief, di Ruang Sidang LPPM UGM, Selasa (20/12), dalam Seminar Series Kepariwisataan bertema ‘Peranan Research & Development dalam Akselerasi Pengembangan Industri Kreatif Pariwisata Peluang dan Tantangan’. Pada seminar yang digelar Pusat Studi Pariwisata UGM, Ahmad Noor sebagai pelaku di bidang industri kreatif merasa prihatin atas perlakukan terhadap beberapa produk industri kreatif. Tidak sedikit produk-produk yang dibajak, sebagai contoh Dagadu, tiga bulan setelah kemunculan produk-produk bajakan pun dengan mudah ditemui di pusat-pusat perbelanjaan ternama. “Bahkan sebagian besar dari mereka memiliki cabang di beberapa kota besar. Modus bajakan untuk idustri semacam ini bisa jadi merek dan desain sama, atau merek sama desain beda atau merek beda desain sama,” katanya.
Achmad Noor sungguh merasa prihatin sebab produk kreatif lokal tanpa merk yang dianggap sebagai merek bersama yang boleh dibajak. Ulah ini menunjukkan penghargaan terhadap kekayaan intelektual para perajin lokal dipertanyakan. Sementara para kreator ini sesungguhnya telah memberikan manfaat bagi masyarakat dan masyarakat senantiasa menanti kreativitas mereka. “Boleh dibilang para kreator telah bertanggung jawab memupuk dan merawat pohon kreativitas, sementara buah ramai dijarah,” ujarnya.
Banyak alasan yang melatarbelakangi pembajak melakukan aksinya. Di samping produk dapat dijual murah dibandingkan dengan produk asli, penyebaran dan perkembangan teknologi yang semakin mudah diakses menginspirasi pembajak melakukan produk massal. “Risiko bisnis pun menjadi sangat rendah karena biaya produksi dan overhead rendah. Pembajak ini tentu memakai bahan baku berkualitas rendah dan tidak perlu mengeluarkan biaya riset dan pengembangan,” tuturnya.
Konsumen pun tidak mau ambil pusing, apalagi mereka yang memiliki penghasilan menengah ke bawah. Karena tidak mampu membeli prosuk asli, mereka menjadi pasar potensial bagi produk bajakan. Di sisi lain, infrastruktur hukum yang lemah menjadi daya tarik tersendiri untuk melakukan pembajakan. “Dalam banyak hal, produk bajakan benar-benar mendompleng popularitas produk asli untuk mempermudah pemasaran,” kata Achmad Noor.
Karena itu, pemegang merek perlu melakukan warning strategy, yakni mengumumkan kepada konsumen bahwa produk asli telah dipalsukan, atau dengan withdraal strategy, yaitu mengawasi dan memilih secara ketat distributor. “Bisa pula dengan melakukan prosecution strategy, di mana pemegang merek membentuk tim khusus untuk melakukan penyelidikan ke tempat-tempat pembuatan produk bajakan,” terang Achmad Noor seraya berharap kerja sama lebih intens antara akademisi, pemerintah, dan pebisnis untuk mengatasi masalah ini.
Prof. Mudradjad Kuncoro, Ph.D. menambahkan Industri kreatif merupakan yang memanfaatkan kekayaan intelektual dengan berbasis pada kearifan lokal untuk menghasilkan ekonomi yang tinggi. Tidak sedikit kontribusi yang dihasilkan dari Industri Kreatif terhadap perekonomian Indonesia. Rata-rata memberi nilai tambah 6,3 persen dari PDB atau sebesar 104,638 triliun rupiah. “Industri ini berhasil menyerap partisipasi pekerja mencapai 5,8 persen atau sekitar 5,4 juta orang,” katanya. (Humas UGM/ Agung)