Usia mereka memang tak lagi muda. Namun, gelora semangat masih memancar di raut wajah para pria yang telah memasuki usia senja ini. Itu pula yang terlihat pada sosok Sugeng Karseno, B.Sc. (76) dan keempat rekannya, dr. Muh Djoedi, Ir. Sugondo Mulyobongsoyudo, Drs. Sutjipto, Sihono, S.H., dan Drs. Wazir Noeri saat menerima penghargaan Insan Berprestasi UGM.
Kamis malam itu (15/12) kelimanya menerima penghargaan sebagai alumni berprestasi karena dinilai telah berkontribusi dalam memajukan dunia pendidikan dengan menjadi pengajar dalam Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) kala itu. Mereka memperoleh penghargaan bersama dengan 8 alumni dan 46 civitas akademika UGM yang juga dinilai berprestasi di sejumlah bidang.
Sugeng mulai berkisah dirinya mengikuti program PTM pada tahun 1961 hingga 1963 dan merupakan angkatan ke-11. Tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Teknik Sipil angkatan 1954, kala itu ia ditugaskan mengajar anak-anak tingkat SMA di daerah Palopo, Sulawesi Selatan. “Waktu itu kondisinya masih sangat kekurangan tenaga pengajar. Saya sangat prihatin,†ujarnya mengenang situasi saat itu.
PTM merupakan program yang diinisiasi oleh mantan Rektor UGM, almarhum Prof. Koesnadi Hardjasoemantri, dan berjalan selama 11 tahun, mulai 1951-1962. Program ini diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan guru yang saat itu, pasca penyerahan kedaulatan oleh Belanda, jumlahnya sangat terbatas, terutama di luar Pulau Jawa. “PTM ini diinisiasi oleh Pak Koesnadi yang saat itu menjadi Ketua Dewan Mahasiswa UGM. Beliau bercita-cita bagaimana di luar Jawa pendidikan di tingkat SMA bisa terlaksana. Untuk itulah, UGM mulai menerjunkan mahasiswanya untuk mengajar dan mendirikan SMA di beberapa daerah di luar Jawa. Pelaksanaan program PTM diawali dengan menerjunkan 8 mahasiswa dari sejumlah fakultas, salah satunya adalah Pak Koesnadi sendiri,†tuturnya.
Sejumlah kisah unik dan mengharukan sempat dirasakan Sugeng di tengah-tengah perjuangannya untuk ikut memajukan pendidikan di daerah itu. Sebagai tenaga PTM, keberadaannya begitu dihargai oleh masyarakat setempat, terutama para siswa. “Keberadaan kami sangat dihargai oleh para siswa. Hal itu menimbulkan kesan yang begitu berharga,†jelasnya dengan wajah penuh keharuan.
Namun, tak hanya itu. Cerita menegangkan dialami pula oleh Sugeng. Ketika mengajar di Palopo, wilayah tersebut tengah berlangsung konflik yang melibatkan suku Bugis dengan Toraja. “Waktu itu tengah ada konflik DI-TII. Perasaan khawatir pasti ada. Jadi, kalau malam saya tidurnya di bawah kolong tempat tidur agar aman saja,†kata pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Fakultas Teknik UGM ini.
Bagi Sugeng, menjadi tenaga PTM merupakan hal yang cukup membanggakan karena dapat membantu memajukan pendidikan di luar pulau. Sebagai bentuk penghargaan, pemerintah mengangkat para tenaga PTM menjadi CPNS. Saat itu, Sugeng tercatat sebagai pegawai golongan II/b dengan gaji sebesar Rp675,00. Hanya saja, ia tidak dapat menikmati uang hasil jerih payahnya itu setiap bulan. “Saat itu, saya digaji Rp675,00. Namun, gaji diberikan setiap 6 bulan sekali karena transportasi kala itu cukup sulit,†kenang ayah 6 anak dan 10 cucu ini.
Ketika disinggung mengenai wajah pendidikan saat ini, Sugeng memaparkan pendapatnya. Menurutnya, pendidikan masih saja belum merata hingga kini terutama di daerah perbatasan dan terpencil. “Harapannya pendidikan lebih diperhatikan lagi. Di wilayah perbatasan, pendidikan masih sangat kurang terjamin. Untuk itu, kami siap dan bersedia jika diterjunkan kembali dalam PTM jilid II,†ucapnya dengan penuh kesungguhan.
Kisah yang hampir serupa juga dilakoni oleh dr. Muh Djoedi (79), yang menjadi tenaga PTM angkatan terakhir pada 1962-1965. Ia ditugaskan menjadi pengajar di Provinsi Jambi, tepatnya di kaki Gunung Kerinci. Di kawasan tersebut, jumlah guru masih bisa dihitung dengan jari. Bahkan, tidak sedikit sekolah tingkat SMA yang belum ada guru. “Di sana guru-gurunya itu merupakan tamatan ST. Jadi, pengajarnya itu lulusan SD yang sekolah lagi selama 2 tahun. Bisa dibayangkan kondisinya seperti apa,†kisah pensiunan dosen Fakultas Kedokteran UGM ini. “Ketika saya mengajar di sana jadinya dikatakan sebagai guru yang betul-betul guru,†imbuh Muh. Djoedi sembari tersenyum.
Senada dengan Sugeng, ia juga menyatakan kesediaan untuk diterjunkan kembali menjadi tenaga PTM guna membantu memajukan pendidikan di daerah pelosok yang memang kurang tersentuh. Meskipun raga sudah mulai merapuh, namun keinginan mereka untuk terus berkarya memeratakan pendidikan di Indonesia begitu besar. Sungguh luar biasa! (Humas UGM/Ika)