YOGYAKARTA – Kepala Pusat Studi Wanita (PSW) UGM, Dra. Sri Djoharwinarlien, S.U., menegaskan perempuan Indonesia masih diposisikan dalam kelompok ‘kelas dua’. Bahkan perempuan sering diidentikkan sebagai penanggung jawab sektor domestik. Padahal, sektor domestik ialah ranah yang harus digarap bersama di dalam keluarga.
Menurutnya, akibat pelabelan posisi yang tidak setara di domain domestik, yaitu rumah tangga dan keluarga, perempuan kerap menjadi korban kejahatan dalam rumah tangga (KDRT), baik fisik maupun mental. “Dari sini angka perceraian tinggi, padahal perempuan di keluarga di Indonesia tidak didesain untuk menjadi pencari nafkah utama. Akibat pasca perceraian, perempuan gelagapan mencari nafkah memenuhi kebutuhannya,†kata Winarlien dalam diskusi ‘Badala Kembang Bangsa: Memetakan Posisi Perempuan Indonesia dari Masa ke Masa’, Kamis (22/12). Diskusi yang dprakarsai Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM ini dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Ibu.
Label yang tidak setara sering ditunjukkan dengan istilah pencari nafkah tambahan bagi perempuan, padahal suami dan istri sama-sama mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Di sektor publik, keterwakilan perempuan di parlemen belum mencapai kuota 30 persen. Padahal, keterwakilan perempuan di ranah politik ini cukup penting untuk ikut andil menggodog kebijakan-kebijakan pemerintah yang masih minim anggaran dan kebijakan yang sensitif gender. “Saat ini masih sebatas lip service semata, belum serius digarap,†imbuhnya.
Winarlien berpendapat bahwa yang perlu dilakukan ialah mengubah cara pandang terhadap perempuan dan meningkatkan posisi tawar perempuan, termasuk membuka akses seluas-luasnya bagi perempuan untuk mendapatkan hak hidup, hak pendidikan, hak pekerjaan yang layak hingga hak mengakses kesehatan. “Mengubah cara pandang terhadap perempuan juga dapat dilakukan dengan affirmative action, yang meskipun terkesan dikriminatif dan tidak menguntungkan perempuan, namun berdampak positif,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)