Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak menjamin penciptaan kesempatan kerja yang tinggi karena pertumbuhan ekonomi nasional selama ini selalu berpihak kepada industri skala besar, padahal sektor industri bersifat padat modal bukan padat karya. Sehingga diperlukan upaya untuk menekan laju pertumbuhan penduduk sebagai salah satu keharusan untuk menekan laju pertumbuhan angkatan kerja yang mencapai 2 juta per tahun.
Demikian dikemukakan oleh peneliti kependudukan UGM Drs Sukamdi MSc dalam seminar sehari 35 tahun Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, “Revitalisasi Kajian Kependudukan di Indonesia dalam Pencapaian Sasaran MDGsâ€, Selasa (5/8) di Gedung Masri Singarimbun UGM.
Menurut Sukamdi, sejak tahun 1990 jumlah angkatan kerja bertambah lebih kurang dua juta setiap tahun atau tumbuh rata-rata dua persen per tahun. Sebaliknya, jumlah kesempatan kerja pada periode yang sama tumbuh lebih rendah yaitu 1,85 persen akibatnya pengangguran meningkat.
“Sebelum krisis, pertumbuhan penyerapan angkatan kerja di sektor industri termasuk tinggi, namun setelah krisis sangat rendah,†tuturnya.
Sukamdi menjelaskan, di tahun 1997-1998 sektor industri mengalami pertumbuhan minus terbesar sementara pertanian sebaliknya meningkat dengan drastis. Sedangkan pertumbuhan penyerapan angkatan kerja paling tinggi terjadi pada tahun 1998-2000 dan 2000-2005. Kemudia pada periode 2005-2008 melambat hingga kurang dari 2 persen.
“Secara absolut, jumlah terserap di sektor industri paling rendah. Sektor pertanian menyerap jumlah angkatan kerja yang paling besar di atas 42 juta dan masih mengalami peningkatan. Sektor jasa juga menyerap hampir 40 juta dan diperkirakan sebagian besar adalah sektor informal,†tandasnya.
Secara umum, kata Sukamdi, pertumbuhan ekonomi meningkat sejak krisis ekonomi tahun 1998. Menurutnya, Kondisi periode 2001 hingga 2008 merupakan sinyal pulihnya pertumbuhan ekonomi nasional dengan mencapai angka 6,3 persen pada tahun 2007 dan 2008 atau rata-rata 5 persen per tahun.
“Jika rata-rata pertumbuhan ekonomi adalah 5 persen dan pada waktu yang sama penambahan jumlah kesempatann kerja adalah 1,5 juta maka setiap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya mampu menciptakan kesempatan kerja sebanyak 300 ribu orang,†katanya.
Artinya, untuk mempertahankan jumlah pengangguran seperti tahun sebelumnya diperlukan pertumbuhanm ekonomi paling tidak 7 persen per tahun karena jumlah angkatan kerja meningkat 2 juta per tahun.
Kepala BKKBN Pusat Dr Sugiri Syarief MPA mengungkapkan upaya untuk menekan laju pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja melalui program Keluarga Berencana (KB) sangat sulit untuk direalisasikan karena minimnya ketersediaan alat kontrasepsi di masyarakat.
“Kenyataan yang terjadi di lapangan, alat kontrasepsi tidak tersedia cukup di puskesmas, karena alat kontrasepsi yang murah dan bersubsidi untuk keluarga miskin telah dimanfaatkan oleh orang kaya,†katanya.
Hal ini diamini oleh pakar Kependudukan Universitas National Australia, Prof Terence H. Hull, menurutnya sulitnya BKKBN untuk melakukan pengendalian pertumbuhan penduduk dikarena keberadaan lembaga ini sudah sangat jauh berbeda sebagaimana yang pernah ada di masa Orde Baru.
“Kebijakan pusat untuk melakukan kebijakan program KB berbeda dengan yang pernah dilakukan dulu, seharusnya kini, daerahlah yang harus melakukan apa yang menjadi kebutuhan program KB di masyarakat,†katanya.
Tidak hanya dalam hal kebijakan, imbuhnya, namun juga melaksankan revitalisasi lembaga BKKBN sebagai lembaga baru yang tidak hanya bertugas hanya menerima data kependudukan dari daerah yang dijadikan bahan membuat kebijakan.
“Banyak data yang berbeda dari setiap survei, maka selayaknya BKKBN melakukan interpretasi yang baik dari data yang buruk,†ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)