
Ketidakpastian akan dihadapi Korea Utara sepeninggal Kim Jong-Il. Pergantian kepemimpinan rezim otoriter yang biasanya membawa harapan baru bagi perubahan di suatu negara, sedikit berbeda dengan meninggalnya Kim Jong Il. Sebab yang berkembang justru kekhawatiran dan ketidakpastian, manakala pasca meninggalnya Kim Jong Il, Kim Jong-Un dinobatkan sebagai penerus sang ayah.
Sebagai penerus, Kim Jong-Un tentu masih harus melakukan konsolidasi di level domestik dan membuktikan diri sebagai pemimpin Korea Utara yang sesungguhnya. “Terlebih mengingat faktor usia seorang pemimpin merupakan hal yang krusial dalam budaya Korea. Kim Jong-Un juga dihadapkan pada cultural pressure yang akan menjadi dorongan penting dalam menegaskan eksistensinya sebagai pemimpin yang legitimate,” kata Nur Rachmat Y., pengajar Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM, Senin (27/12), di kampus setempat menanggapi situasi Korea Utara akhir-akhir ini.
Meski begitu, kondisi seperti ini semestinya menjadi sarana pembuktian diri Kim Jong-Un sebagai pemimpin yang berkharisma bagi rakyatnya, sekaligus pemimpin yang patut ditakuti di dunia global. Memang sempat muncul rasa kekhawatiran yang mengarah pada cara-cara kekerasan, yang kemungkinan mengganggu stabilitas keamanan kawasan. Permasalaan ketidakpastian kondisi keamanan di kawasan Asia Timur pasca kematian Kim Jong Il ini sewaktu-waktu memang bisa muncul jika konsolidasi di tingkat domestik yang dilakukan Kim Jong-Un gagal. “Bila konsolidasi gagal dilakukan tentu berakibat sangat fatal karena dapat menimbulkan political chaos di Korea Utara,” papar Nur Rachmat.
Jika ini yang terjadi dan menyebabkan Pyongyang runtuh, kemungkinan besar Cina yang selama ini sekutu terdekat Korea Utara tidak akan membiarkan kondisi ini berlarut-larut sehingga dapat diprediksikan Cina akan melakukan intervensi untuk mengembalikan kendali kekuasaan di Korea Utara. Sementara intervensi Cina, di sisi lain, tidak dapat ditolerir oleh Korea Selatan dan hampir dipastikan akan melibatkan Amerika Serikat sebagai sekutu utama Korea Selatan. Sebagai akibat lebih jauh, kondisi ini dapat meningkatkan ketegangan di kawasan Asia Timur. “Menyadari sepenuhnya kondisi yang serba tidak menentu tersebut, dapat dipahami jika Korea Selatan mengintensifkan sektor pertahanan dan keamanan dalam merespon wafatnya Kim Jong-Il,” tambahnya.
Pergantian rezim di Korea Utara pun ditanggapi secara hati-hati oleh negara-negara di kawasan Asia Timur, termasuk Amerika Serikat yang memiliki kepentingan di kawasan tersebut. Oleh karena itu, respon yang paling mungkin dari semua pihak terkait di kawasan tersebut ialah ‘wait and see’ terhadap tindakan Kim Jong-Un. “Dalam konteks ini, situasi di kawasan Asia Timur pada masa kepemimpinan Kim Jong Il dapat dianggap relatif lebih memberikan jaminan akan kepastian. Hal ini setidaknya karena masyarakat internasional telah terbiasa dan dapat menduga arah kebijakan Kim Jong Il yang memang cenderung kontroversial dan provokatif,” ujar salah satu anggota tim peneliti Cluster Diplomacy and Foreign Policy, IIS UGM, ini. (Humas UGM/ Agung)