YOGYAKARTA-Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang didistribusikan menjelang pemilihan umum tahun 2009 silam telah digunakan sebagai media pembelian suara. Program BLT dirancang untuk pembelian suara, didistribusikan pada masa kampanye pemilu, dan diklaim sebagai kebaikan presiden yang berkuasa serta menjadi kandidat presiden untuk memobilisasi pemilih. “Klaim terhadap program BLT tidak hanya dilontarkan oleh calon presiden dari partai penguasa, Presiden Yudhoyono. Namun, juga oleh pesaing politiknya, yaitu Megawati dan Jusuf Kalla,†kata staf pengajar Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM, Drs. Mulyadi Sumarto, M.P.P., dalam diskusi di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM bertema Kebijakan Sosial dan Klientelisme: Makna Politik Program Bantuan Langsung Tunai pada Pemilihan Presiden 2009, Kamis (5/1).
Apa yang disampaikan Mulyadi merupakan hasil penelitian tentang praktik klientelisme (clientelism) dalam realisasi program BLT dan makna politik program BLT pada pemilu 2009, terutama bagi kandidat presiden. Ini merupakan bagian dari penelitian mengenai ‘welfare regime, konflik, dan klientelisme di Indonesia’. Menurut Mulyadi, praktik klientelisme dalam program BLT terjadi di tingkat nasional, kabupaten/kota, dan komunitas. “Penelitian ini fokus pada klientelisme di tingkat nasional yang muncul dalam bentuk pembelian suara (vote buying) menggunakan program BLT pada pilpres 2009,â€kata Mulyadi yang masih menempuh studi S-3 di Australian National University.
Dalam kesempatan tersebut, Mulyadi juga mengatakan seluruh kandidat presiden Indonesia pada pemilihan umum presiden 2009 ditengarai telah melakukan klientelisme atau praktik pertukaran dukungan dari pemilih dengan pemberian materi. Bantuan langsung tunai menjadi senjata utama calon penguasa untuk merebut hati rakyat miskin. Sementara itu, klaim yang disampaikan oleh semua kandidat presiden menunjukkan program BLT mempunyai makna politik yang sangat penting bagi mereka. Saat itu, bersama dengan isu bahan bakar minyak dan swasembada pangan, BLT kerap tampil di berbagai media massa sebagai program pengentasan kemiskinan masyarakat yang cukup sukses.
Walaupun semua kandidat presiden mengklaim program BLT, konteks politik ketika mengklaim dan posisi politik mereka berbeda. Praktik pembelian suara hanya melekat pada capres dari partai penguasa yang merancang program untuk pembelian suara, menyingkirkan penolakan politik realisasi program BLT, mendistribusikan program pada masa kampanye, dan mengklaimnya secara intensif. “Mobilisasi politik menggunakan program BLT ini menciptakan pengaruh buruk pada karakter dan perkembangan kebijakan sosial di Indonesia,â€tutur Mulyadi (Humas UGM/Satria AN)