YOGYAKARTA-Cara memahami terorisme yang menekankan sifat, karakter, dan ideologi pelaku terorisme perlu dilengkapi dengan cara lain. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk melengkapi hal itu ialah dengan ‘perspektif relasional’. Artinya, perlu memperhatikan beberapa proses sosial yang melatari penggunaan aksi teror sebagai strategi.
Sebagai contoh, dalam kasus bom di Masjid Polres Cirebon, selain memperhatikan siapa pelaku, sifat, dan latar belakang ideologinya, juga perlu dipertanyakan hal lain, misalnya bagaimana bahan peledak sampai ke tangan pelaku bom bunuh diri dan puluhan teman pelaku. “Selain itu, apa hubungan pelaku bom bunuh diri dengan polisi sebelumnya dalam berbagai aksi radikal yang bukan aksi bom, seperti terorisme di Cirebon,†kata peneliti Institute of International Studies (IIS) Jurusan Hubungan Internasional (HI) UGM, Drs. Samsu Rizal Panggabean, M.Sc., Senin (9/1).
Rizal menyebutkan dengan pendekatan tersebut memungkinkan untuk melihat persoalan teroris secara lebih memadai, tanpa menjadikan aparat dan pemerintah sebagai target atau korban semata, melainkan sebagai pelaku dalam pertarungan politik yang lebih luas, yang menciptakan lahan bagi munculnya perilaku radikal termasuk penggunaan strategi terror oleh pihak-pihak yang terlibat. Menurut Rizal, fenomena menarik dari terorisme pada 2011 lalu ialah adanya taktik baru dan generasi pelaku yang baru.
Taktik baru yang dimaksud, antara lain penggunaan bom buku di kompleks Radio 68H Jakarta, sedangkan generasi baru adalah para pelaku bukan lagi lulusan tempat-tempat konflik internasional, seperti Afganistan, Filipina Selatan, atau Thailand Selatan. “Mereka adalah generasi baru lulusan pengajian radikal yang belajar keterampilan membuat bom lewat internet, bukan dalam konteks perang,†imbuhnya.
Selain itu, beberapa target bom tahun 2011, seperti gereja, polisi, dan perseorangan, perlu diperhatikan juga. Pertama, pemilahan berbasis agama yang masih sensitif di masyarakat dan sangat rentan terhadap serangan. Ini mengisyaratkan perlunya koordinasi dan kerja sama lintas-agama yang dapat membantah asumsi teroris bahwa pemilahan Islam-Kristen sangat rentan dan dapat menjadi sasaran empuk aksi terror. Kedua, efek dendam yang muncul dari berbagai tindakan lawan-teroris di Indonesia. “Dendam adalah salah satu penggerak aksi teror terhadap polisi,†kata Rizal.
Di tempat yang sama pengamat dari IIS lainnya, Eric Hiarej, M.Phil.,Ph.D., mengatakan ada peningkatan jumlah aksi terorisme di tahun 2011 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, perubahan di 2011 juga terjadi pada pola pelaku aksi teror. Pada tahun 2011, aksi teror banyak dilakukan oleh kelompok kecil dengan jumlah anggota yang relatif sedikit. Aksi teror bergeser dari aksi teror yang dilakukan secara komunal ke aksi yang berbasis individual. “Yang menarik adalah sepanjang tahun 2011, target utama dari berbagai aksi teror kebanyakan diarahkan ke polisi serta rumah ibadah,†tutur Eric.
Baik Rizal maupun Eric juga sepakat agar peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ke depan dapat ditingkatkan lagi. Sejauh ini, peran BNPT masih belum optimal terbukti dengan minimnya anggaran yang dikucurkan. Pemerintah lebih banyak terfokus pada peningkatan peran Densus 88. (Humas UGM/Satria AN)