YOGYAKARTA – Gudeg, makanan khas Yogyakarta ini terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan. Gudeg telah lama menjadi salah satu menu kuliner paling populer yang digemari wisatawan yang berkunjung ke kota ini. Namun, siapa sangka jika buah nangka muda untuk bahan gudeg ternyata dipasok dari luar Yogyakarta? Pasalnya, di Yogyakarta ternyata minim pasokan buah nangka muda. Hal ini menjadi salah satu bahan diskusi beberapa pakar dari UGM. Dalam pertemuan yang difasilitasi oleh Pengelola Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Rabu (11/1),dihasilkan rekomendasi bahwa UGM akan merintis pengembangan hutan tanaman budaya, salah satunya pohon nangka.
Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A (K) sebagai pemandu diskusi sekaligus pengelola PKKH UGM mengatakan PKKH akan mendorong budidaya tanaman pohon nangka di lingkungan masyarakat Yogyakarta untuk mengatasi minimnya bahan baku untuk pembuatan gudeg. Selain berfungsi sebagai tanaman hutan untuk penghijauan, buah pohon ini juga bisa untuk menambah penghasilan bagi pemiliknya. “Karena itu, perlu dipilih bibitnya lebih murah, produksi lebih bagus, hasilkan gudeg dengan gizi lebih bagus juga,†katanya.
Ia menambahkan UGM berencana akan membuat tiga kelompok yang bertugas untuk membantu budidaya tanaman, teknologi pembuatan gudeg, pendampingan produksi dan pemasaran. “Perlu dipikirkan bagaimana buat gudeg bisa tahan lama dengan tidak mengurangi cita rasanya,†katanya.
Sehubungan dengan teknologi pengawetan gudeg, peneliti pangan dan gizi UGM, Dr. Ir. Eni Harmayani, M.Sc., mengatakan pihaknya akan mencoba mengembangkan teknologi pengawetan gudeg agar lebih tahan lama. Rencananya, para penjual gudeg akan diberikan pendampingan dan pelatihan tentang teknologi ini. “Thailand sudah mulai dengan nangka kaleng yang bisa tahan sampai satu tahun. Saya kira, gudeg bisa dikalengkan. Dengan dibantu produksi massal dan proses pemasarannya yang perlu didukung,†tuturnya. Menurut Eni, jenis nangka yang paling baik digunakan sebagai bahan baku untuk membuat gudeg adalah nangka yang berkulit hijau karena tekstur kompak dan tidak hancur saat direbus.
Sementara itu, Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Prof. Dr. Ir. Moh. Na’iem, M.Agr.Sc., mengatakan Fakultas Kehutanan sudah memiliki bibit pohon nangka dari 11 varietas yang ditanam di kawasan Wanagama Gunung Kidul. “Bibit ini kita ambil dari 11 provinsi,†katanya.
Sumarjono (63), pemilik gudeg Mbarek Bu Ahmad, yang hadir dalam diskusi tersebut mengaku antusias atas ajakan UGM untuk mengembangkan teknologi pengawetan gudeg dalam bentuk kemasan kaleng. “Saya sangat tertarik dengan ajakan para pakar pengolahan nangka ini,†ujarnya.
Ia bercerita bahwa dalam sehari usaha gudeg miliknya menghabiskan 2,5 kuintal nangka. Bahkan, di hari libur dapat mencapai 5-7 kuintal. Sementara itu, kebutuhan ayam kampung mencapai 150-200 ekor tiap harinya. “Untuk nangkanya diambil dari Muntilan,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)