Kajian tentang lambang Garuda Pancasila sangat minim di Indonesia. Akibatnya, belum banyak referensi yang dapat menjelaskan secara komprehensif tentang asal-mula burung Garuda sebagai lambang negara. Perdebatan tentang asal-mula lahirnya lambang Garuda Pancasila muncul di era revolusi perjuangan kemerdekaan, saat Indonesia sedang mencoba untuk merumuskan lambang negara yang tepat untuk digunakan.
Sejarah lambang Garuda banyak menuai tanda tanya terkait dengan penemu lambang burung Garuda Pancasila, pendesain lambang Garuda, dan proses perkembangan desain lambang Garuda Pancasila hingga sampai berwujud seperti saat ini. Berbagai pandangan para ahli dan sejarawan bermunculan. Namun, tidak semua penjelasan memberikan jawaban yang memuaskan.
Hal itu pula yang kemudian menarik perhatian Nanang Rakhmat Hidayat, M.Sn., salah satu mitra kerja Pusat Studi Pancasila UGM yang kini aktif terlibat dalam upaya penguatan dan pembudayaan nilai-nilai Pancasila melalui penelitian tentang lambang Garuda Pancasila. Tim peneliti dan kajian PSP UGM tertarik dengan upaya dan keunikan yang dilakukan oleh Nanang Hidayat sebagai seniman dan sekaligus peneliti Garuda Pancasila.
Minggu,15 Januari 2012, tim peneliti dan kajian Pusat Studi Pancasila UGM, Hastangka dan Diasma Sandi Swandaru, mengunjungi serta melakukan wawancara eksklusif dengan Nanang Rakhmat Hidayat, M.Sn., pendiri Rumah Garuda, sekaligus dosen Jurusan Televisi, Fakultas Seni Media Rekam, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Melalui wawancara, PSP UGM berharap mampu menggali lebih dalam tentang sejarah dan pemaknaan lambang Garuda Pancasila, yang kini mulai terlupakan dan terlepas dari pengamatan masyarakat.
Dari wawancara, Nanang mengaku mendirikan Rumah Garuda karena merasa gelisah sebab dari sosialisasi empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara tidak satu pun menceritakan tentang proses terbentuknya lambang Garuda Pancasila. Padahal, burung garuda terlihat begitu gagah dan luar biasa terpilih sebagai ikon lambang Garuda Pancasila. “Ironisnya, informasi dan edukasi tentang lambang Garuda Pancasila kepada masyarakat jarang sekali kita dengar,” ucap Nanang.
Merasa prihatin akan kondisi tersebut, Nanang lantas bertekad mendirikan Rumah Garuda pada tanggal 17 Agustus 2011 di Jalan Bantul km 7.5, Dukuh Pucung, Krantil RT 55, Bantul. Ia menggagas Rumah Garuda sebagai wujud kepedulian dan upaya pelestarian lambang Garuda Pancasila yang selama ini tidak pernah mendapatkan perhatian dari kalangan civitas academica dan pemerintah.
Nanang pun merelakan rumah pribadinya digunakan sebagai Rumah Garuda dan ia rela untuk mengontrak rumah di daerah lain. Di Rumah Garuda ini dapat dijumpai sejumlah koleksi burung garuda dari berbagai wilayah di Indonesia. Hingga kini, tercatat 300-an foto garuda terpampang, 100 berhasil dicetak, 7 dalam bentuk tiga dimensi, 100 relief, dan 50 dalam bentuk alumunium.
Menurut penuturan Nanang Hidayat, ia mengoleksi burung garuda sejak tahun 2003 melalui foto. Sebanyak 70 persen foto-foto diperoleh di Yogyakarta, sedangkan 30 persen lainnya didapatkan dari kota lain dan kiriman serta oleh-oleh garuda dari patner dan teman-temannya. “Saya menilai hampir seluruh aspek makna Garuda berubah, misalnya dari segi fungsi, kadang hanya dipergunakan sebagai aksesoris,” tuturnya.
Selain itu, ia juga menemukan Garuda dalam lambang berbentuk aluminum banyak ditemukan di pasar loak. Kemudian, dari segi bentuk banyak lagi yang ditemukan di jalan-jalan dan kampung-kampung dengan berbagai macam tipe, antara lain Garuda dipergunakan sebagai penanda waktu, Garuda sebagai penanda batas desa dan daerah, Garuda sebagai penanda kebanggaan dan kecintaan pada bangsa dan negara. “Aspek spiritual, sekarang ini malah tidak terlalu nampak,” katanya.
Bagi Nanang, mengoleksi Garuda Pancasila merupakan wujud kecintaannya terhadap lambang itu. Ia yang terkadang menemukan Garuda jauh dari standar yang ada memaklumi bahwa hal itu mungkin disebabkan undang-undang tidak menjangkau sampai masyarakat. Bahkan, tak jarang lambang Garuda dibuat dengan berbagai macam latar belakang. Misalnya saja, mereka yang berprofesi tukang becak, tukang bakso, dan karang taruna membuat Garuda dengan senang meski tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. “Sehingga jangan merasa heran bila beberapa bentuk Garuda di gedung-gedung pemerintah menampilkan ekspresi berbeda, seperti bentuk paruh, mata, sayap, dan cengkeraman, karena mereka menyerahkan pembuatan pada seniman. Sementara seniman sendiri memiliki daya kreasi yang berbeda,” tuturnya.
Nanang menandaskan makna Garuda saat ini sedang berproses. Garuda adalah soko guru spiritual bangsa, sulit dibahas dan diceritakan sebab masuk dalam konteks keimanan. Baginya, Garuda memiliki suatu makna yang luar biasa sehingga dapat menjadikan orang melihat lambang Garuda dalam jarak sepersekian meter di jalan dalam kecepatan tertentu. “Seperti orang menyeberang di jalan pakai lambang Garuda,” tambahnya sembari berharap strategi untuk melakukan edukasi dan informasi perlu dilakukan dengan strategi visual dan secara lebih detail dapat memanfaatkan beberapa permainan anak-anak, film, komik, robot, puzzle, dan animasi. (Humas UGM/ Agung)