YOGYAKARTA-Pembedaan perlakuan terhadap pria dan wanita tidak selalu identik dengan upaya mendiskreditkan wanita. Pembedaan tersebut lebih kepada upaya pembagian tugas antara pria dan wanita agar sistem yang telah ada tetap berjalan. Hal itu dikemukakan oleh staf pengajar Jurusan Sosiologi UGM, Drs. Soeprapto, S.U., dalam Diskusi Telaah Model Harmonisasi Nilai-nilai Budaya dan Kearifan Lokal dalam Pembentukan Jatidiri Bangsa menuju Kesetaraan Berkeadilan Gender. Diskusi digelar di Pusat Studi Wanita (PSW) UGM, Kamis (19/1). “Dari hasil FGD yang kita lakukan awal Desember tahun lalu, hal tersebut terungkap bahwa pembedaan perlakuan antara pria dan wanita lebih kepada upaya pembagian tugas dan tidak untuk mendiskreditkan wanita,†tutur Soeprapto.
Soeprapto menambahkan FGD yang dilakukan melibatkan banyak elemen masyarakat dengan latar belakang yang beragam, baik agama maupun suku bangsa. Dari latar belakang yang beragam itu ternyata mereka memiliki falsafah masing-masing. Di dalam setiap kebudayaan dan kearifan lokal terdapat nilai yang mendukung kesetaraan gender ataupun ketidakadilan gender. “Pengayaan informasi juga dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara dengan beberapa ahli budaya,†imbuhnya.
Soeprapto menjelaskan FGD dan kajian yang dilakukan bertujuan untuk melihat apakah nilai-nilai sosial dan budaya serta kearifan lokal dapat diharmonisasi menuju kesetaraan gender sehingga akan dapat diidentifikasi jati diri bangsa Indonesia.
Terkait dengan kesetaraan gender, dalam pandangan Soeprapto, saat ini memang belum dapat tercapai secara penuh. Namun, sudah ada kecenderungan upaya menuju penyetaraan gender di perusahaan hingga pemerintahan. “Peran wanita sudah diperlakukan sama dengan pria meskipun dari sisi jumlah belum bisa seimbang,†ujarnya.
Diakui Soeprapto bahwa upaya penyetaraan gender di Indonesia masih terkendala beberapa hal, khususnya pembedaan penafsiran nilai-nilai sosial dan budaya yang ada. Ia mencontohkan pada suku bangsa Jawa terdapat istilah garwo “sigaraning nyowo†sehingga memandang wanita hanya menjadi bagian dari pria sehingga posisinya seakan hanya sebagai pengisi kekosongan dari pria. “Maka adanya sosialisasi kepada masyarakat bahwa pembedaan perlakuan pria dan wanita bukan untuk mendiskreditkan wanita perlu terus dilakukan,†harap Soeprapto. (Humas UGM/Satria AN)