Hegemoni ilmu sosial dan humaniora dari barat yang membanjiri dari berbagai aspek keilmuan di Indonesia telah mengkerdilkan pemikiran-pemikiran genuine Indonesia. Kuatnya hegemoni karena globalisasi dan liberalisasi keilmuan menjadikan bangsa Indonesia cenderung tidak pernah berdaulat atas ilmu di negeri sendiri yang notabene kaya dengan nilai-nilai kearifan lokal tetapi mandek di tengah jalan.
Melihat keprihatinan tersebut, para Dekan, Wakil Dekan, dan pengurus Pusat Studi pada klaster sosial-humaniora mencoba untuk melakukan upaya-upaya kritis membangun keilmuan ke-Indonesia-an dan berjati diri kebangsaan. “Selama ini banyak para ilmuwan di Indonesia terhegemoni oleh pemikiran barat, seperti yang terjadi di Fakultas Psikologi,” ujar Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Kerjasama dan Alumni, Fakultas psikologi, Drs. Helly Prayitno Sutjipo, MA.Helly, di kampus UGM, Rabu (18/1) pada pertemuan ilmuwan memandang kegelisahan Klaster Sosial-Humaniora.
Hal senada disampaikan Dekan Fakultas Ilmu Sosial Politik, Prof. Dr. Pratikno. Ia berpandangan bahwa hegemoni keilmuan juga terjadi pada Fakultas Ilmu Sosial Politik. Fakultas ini dinilainya terlalu banyak terinfiltrasi atau tersubversi berbagai pemikiran barat sehingga tidak memiliki kedaulatan ilmu secara mandiri. “Karenanya penting melakukan revolusi agenda pembelajaran berbasis nilai-nilai budaya bangsa dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Upaya ini dirasa urgent untuk dilakukan, sebab era globalisasi dan keterbukaan mestinya mampu membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang dapat memimpin dunia dengan bekal ilmu dari bangsa Indonesia asli,” ungkapnya.
Kegelisahan kluster Sosial-Humaniora berpangkal pada permasalahan pengembangan ilmu sosial. Pengembangan mestinya sensitif pada politik ilmu. Dalam review kurikulum tercantum adanya nilai perjuangan ilmu, sementara gambar piramida memperlihatkan nilai kejuangan tersebut dijabarkan dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. “Sudah saatnya kita berbicara tentang support sistem, makanya jurusan-jurusan di Fisipol diajak untuk berbicara, nilai-nilai dasar apa saja yang mesti diperjuangkan oleh Tri Dharma PT dari masing-masing jurusan. Misal misi yang terkadung di Jurusan Hubungan Internasional apa saja, setelah diketemukan baru di dukung support sistem. Sudah saatnya bagi kita melakukan subversi politik terhadap pendidikan,” papar Pratikno.
Menurut Pratikno pendidikan bukan melulu masalah knowledge, melainkan diharapkan mendorong mahasiswa untuk memiliki ambisi menjadi global leader. Ambisi menjadi leader dalam konteks region, juga dalam hal toleransi pembelajaran.
Drs. Heri Santoso, M.Hum dari Pusat Studi Pancasila menilai semua yang tergabung dalam pertemuan klaster Sosial-Humaniora memiliki prinsip kegelisahan yang sama. Mereka memiliki pekerjaan rumah yang sama, seperti apakah kluster Sosial Humaniora harus dikembangkan di UGM, metode penelitian, kerangka action serta publikasi yang bisa dilakukan. “Saat ini teori sosial di Indonesia masih sangat minim, karenanya sudah saatnya UGM melakukan sesuatu. Tugas kita di klaster ini adalah menginventarisir problem sosial dan problem khusus ilmu sosial, merumuskan perkembangan sosial humaniora untuk Indonesia,” imbuh Heri.
Turut hadir dalam pertemuan ilmuwan Klaster Sosial-Humaniora Prof. Dr. Sumijati AS (FIB/Ketua Klaster Soshum), Hermin Indah Wahyuni, Ph.D (FISIPOL), Prof. Baiquni (Pusat Studi Pariwisata), Dr. Amir Ma’ruf, M.Hum. (Wakil Dekan FIB), Dr. Arqom Kuswanjono (Wakil Dekan Fakultas Filsafat), Dr. Novi Sitti Kussuji Indrastuti, M.Hum. (FIB/Pusat Studi Korea), Dra. Sri Djoharwinarlien, S.U. (Pusat Studi Wanita), Aiman Mobiu, S.T. (Pusat Studi Jerman), Wulansari, S.S. (Pusat Studi Pancasila), Hastangka, S.Fil. (Pusat Studi Pancasila), Hendro Muhaimin, S.Fil. (Pusat Studi Pancasila) dan Agung Saras Sri Widodo, S.Sos. (Pusat Studi Pancasila). (Humas UGM/ Agung)