Indonesia tercatat sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar keempat di dunia setelah AS. Di tahun 2050, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 310 juta orang. Di saat itu pula jumlah kebutuhan pangan terkait pertanian diperkirakan akan meningkat tajam.
Demikian disampaikan Rektor UGM Prof Ir Sudjarwadi MEng PhD saat membuka Seminar Internasional bertajuk “Paradigm of Agricultureal Development: The Role and Synergy Between UN Agencies, Government, NGO, and Private Sectors”, Kamis (7/8), di ruang Balai Senat UGM. Seminar yang diselenggarakan UGM dengan Kedutaan RI Untuk Roma ini didukung Food Agriculture Organization (FAO), International Fund for Agriculture Development (IFAD) dan World Food Programme (WFP).
Kata Rektor, meski telah memberikan jasa besar untuk kehidupan bangsa, bidang pertanian dinilai masih memiliki kewajiban untuk selalu meningkatkan kontribusinya. Saat ini saja, katanya, jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 230 juta orang.
“Dengan menjadi 310 juta orang, maka kebutuhan sehari-hari akan terkait erat di bidang pertanian. Bagi UGM bidang ini tentunya bukan hal baru. Bahkan, untuk tingkat dunia kita pernah memberikan gelar Dr Honoris Causa di tahun 1978 kepada Dr Eduard Sauoma, Direktur General FAO saat itu,” ujar Rektor.
Duta Besar RI untuk Italia Susanto Sutoyo menambahkan sejak awal berdirinya tiga badan PBB di Roma FAO, IFAD dan WFP telah secara aktif menjalankan program dan kegiatannya di Indonesia. Namun sayang, banyak lapisan masyarakat Indonesia tidak mengerti dan tidak menyadari mandat, kerangka kerja, proses pengambilan kebijakan, program dan kegiatan sumber pendanaan dari ketiga badan tersebut.
“Lapisan masyarakat yang dimaksud adalah para akademisi, cendikia, peneliti dan praktisi yang bergerak di sektor pertanian,” ujarnya saat membicara kunci.
Dikatakan, kurangnya pemahaman mengenai FAO, IFAD dan WFP diantara pemangku kepentingan di Indonesia lebih disebabkan sebagian besar kerjasama dilakukan dengan pemerintah. Selain itu, karena keterbatasan kegiatan dan program sosialisasi yang dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran pada lapisan masyarakat tentang FAO, IFAD dan WFP.
“Karenanya sesuai mandat dan kerangka strateginya, ketiga badan PBB tersebut menekankan pentingnya program dan sosialisasi terhadap semua pemangku kepentingan agar supaya kiprahnya dalam pembangunan pertanian dunia khususnya Indonesia dapat dipahami dan menjadi kajian menarik bagi semua pihak,” ujar Susanto Sutoyo.
Sehingga tidak mengherankan, bila saat ini tercatat hanya satu orang profesional Indonesia yang bekerja di FAO, padahal Indonesia mestinya mendapat quota 4-5 orang. Di WFP, jumlah profesional Indonesia 5 orang dan di IFAD hingga kini tidak ada orang Indonesia bekerja disana.
“Padahal kontribusi Indonesia untuk badan yang berdiri sejak tahun 1989 ini mencapai 42 US Dollar,” ungkapnya.
Oleh karenanya melalui forum semacam ini, dia berharap dapat dibentuk jejaring, baik jejaring komunikasi maupun jejaring teknis antara ketiga badan tersebut dengan para pemangku kepentingan di Indonesia. Jejaring ini dapat berupa ‘pooling of experts’ yang dapat dimanfaatkan oleh Badan PBB di Roma dalam melaksanakan program-programnya.
Pooling Experts ini dapat berupa mailing list yang mewadahi komunikasi dalam menyebar luaskan informasi dua arah atau exchange of information, terkait kegiatan yang dilakukan oleh Badan-badan PBB di Roma serta lembaga-lembaga pertanian di Indonesia, baik pusat penelitian, perguruan tinggi, kalangan swasta yang bergerak di sektor pangan dan pertanian.
“Kami menilai selama ini pemanfaatan pengetahuan yang ada di FAO sebagai knowledge-based organization oleh masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Dengan jejaring ini, exchange of information diharapkan akan lebih mudah dilaksanakan. Demikian pula untuk perpustakaan elektronik FAO, IFAD maupun WFP akan lebih mudah dan sering diakses oleh kalangan yang berminat,” paparnya.
Pembentukan pooling experts ini, lanjut Susanto, dapat menggunakan format data base nama-nama para ahli pangan dan pertanian Indonesia, yang dapat dimanfaatkan sebagai konsultan untuk program-program kegiatan ketiga badan PBB tersebut. Selama ini disinyalir, ketiga badan PBB tersebut cenderung menggunakan konsultan asing untuk pelaksanaan kegiatannya.
“Apabila data base seperti ini telah tersedia dan mudah diakses, maka tidak ada alasan bagi FAO, IFAD maupun WFP untuk tidak menggunakan konsultan lokal dalam menunjang kegiatan-kegiatannya,” tukasnya. (Humas UGM).