YOGYAKARTA-Pengendalian kependudukan di Indonesia hingga kini masih merupakan masalah nasional, tetapi pada sisi lain ada masalah yang juga besar, yakni ketidakberhasilan memperoleh keturunan (infertilitas) pada sebagian pasangan usia suami istri (pasutri) usia subur (PUS). Infertilitas ini diperkirakan dialami sekitar 14-17% PUS, yang sekitar 60% dia ntaranya disebabkan oleh faktor wanita, dan 20% diantaranya dikarenakan anovulasi. Selain itu, sekitar 5-10% dari seluruh wanita usia subur (WUS) mengalami anovulasi akibat sindroma ovarium polikistik (SOPK).
“SOPK ini merupakan gangguan endokrin ditandai dengan hyperandrogenaemia, anovulatoar, infertility dan hirsutism denga prevalensi dalam populasi antara 5-10%,â€papar dr.Hermanus Suhartono Siswosubroto, Sp.OG (K) pada ujian terbuka program doktor Fakultas Kedokteran UGM, Jumat (20/1). Pada kesempatan itu Hermanus mempertahankan disertasinya dengan judul Polimorfisme Pentanukleotida (tttta)n Gena CYP11a dan Polimorfisme Gena CYP19 Pada Penderita Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) Etnis Melanesia dan Melayuâ€, Kajian Kadar Testoteron, Folicle Stimulating Hormon, Luteinizing Hormon, Estrogen, Progesteron Serum dan Homeostasis Model Assesment (HOMA).
Hermanus menambahkan meskipun jelas bahwa SOPK adalah gangguan yang terkait dengan keluarga, dengan risiko bagi saudara kandung 50%, sifat pewarisan yang tepat belum disepakati. Studi keluarga yang dilakukan menyoroti masalah seperti kurangnya konsensus fenotip klinis untuk SOPK, juga kurangnya kesepakatan tentang fenotip laki-laki.
Disamping itu belum ada kesepakatan kriteria diagnosis SOPK. Kriteria yang ada didasarkan pada gambaran hiperandrogenisme klinis dan/atau biokimiawi, disfungsi haid, serta gambaran polikistik pada ovarium secara ultrasonografis.
“Sebenarya SOPK ini mempunyai basis genetik yang kompleks dimana interaksi faktor-faktor genetis dan lingkungan dapat menentukan perkembangan sindrom tersebut. Ini menjelaskan bahwa ovarium polikistik dapat terjadi bersama dengan gejala-gejala klinis yang berbeda,â€imbuh dokter fungsional spesialis Obstetri-Ginekologi RSU Dok II Jayapura tersebut.
Pada umumnya SOPK didefinisikan sebagai adanya anovulasi seperti; gangguan menstruasi, oligomenorhea atau amenorrhea, disertai gambaran klinis dan perubahan biokimia hiperandrgen dan polikistik ovarium ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi. Sampai saat ini kebanyakan wanita hirsutisme yang disertai menstruasi teratur, kata Hermanus, mempunyai polikistik ovari. Diduga prevalensi ovarium polikistik berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi pada populasi yang normal didapat lebih dari 20%.
Penelitian yang dilakukan Hermanus ini dilakukan pada periode Mei 2008-Mei 2011 di RSUP dr Sardjito da RSU Jayapura dengan objek penderita SOPK etnik Melanesia dan etnik Melayu serta wanita normal etnik Melanesia dan etnik Melayu sebagai kontrol. Dari penelitian itu belum ada yang dilakukan pada wanita usia reproduksi yang menderita SOPKras Melanesia dan ras Melayu di Indonesia dan pada penelitian ini dicari tentang polimorfisme gena CYP 19 yang berhubungan dengan terjadinya SOPK pada wanita etnik Melanesia dan etnik Melayu.
Hasil penelitian yang dilakukan Hermanus antara lain terungkap bahwa frekuensi polimorfisme gena CYP19 pada penderita SOPK etnik Melanesia dan etnik Melayu mempunyai allel dominan adalah 6R. Selain itu terdapat perbedaan bermakna polimorfisme gena CYP11a pada allel pendek (4R) dan allel panjang (6R) antara kelompok SOPK dan kelompok kontrol pada etnik Melanesia dan etnik Melayu.
“Maka ke depan perlu dilakukan penelitian faktor genetik lainnya untuk menambah indikator keberhasilan pengobatan SOPK,â€pungkas pria kelahiran Manado, 16 Juli 1965 ini.
Usai mempertahankan disertasinya di hadapan tim penguji yaitu Prof.dr.Mohammad Hakimi, Sp.OG (K), Ph.D, Prof.dr.Sofia Mubarika, M.Med.Sc, Ph.D., dr.Ahmad Hamim Sadewa, Ph.D, Prof.dr.Anwar Has, Sp.OG (K), M.Med.Sc., dr.Agus Surono., Ph.D., Sp.THT., Prof.Dr.dr.KRMT.Tedjo Danoedjo Oepomo, Sp.OG (K)., Prof.dr.Sri Kadarsih Soenjono, M.Sc, Ph.D., Dr.Med.dr.Indwiani Astuti, dan dr.Titi Savitri Prihatiningsih, M.A.., M.Med.Ed., Ph.D., akhirnya Hermanus dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude. Dengan hasil tersebut Hermanus merupakan doktor ke-1538 yang lulus ujian di UGM (Humas UGM/Satria AN)