YOGYAKARTA-Sistem pembuktian terbalik secara keperdataan yang telah dipraktikkan di beberapa negara, seperti Amerika, Inggris, dan beberapa negara Eropa lainnya dapat dijadikan rujukan pemberlakuan pembuktian terbalik dalam pengembalian aset kejahatan korupsi di Indonesia. Pengaturan pembuktian terbalik untuk mengembalikan aset kejahatan korupsi berikut prosedur acaranya harus dimuat dalam undang-undang sebagai suatu pengecualian prosedur pembuktian yang berlaku pada umumnya dengan mengingat sifat dan karakter korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang bersifat internasional.
“Pengembalian aset kejahatan korupsi yang saat ini berlaku di Indonesia hanya melalui sarana hukum pidana dengan membuktikan terlebih dulu kesalahan tersangka/terdakwa melalui putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, kecuali jika tersangka atau terdakwa meninggal dunia, maka dapat dilakukan gugatan perdata,†kata Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum. dalam pidato pengukuhan guru besar di Balai Senat UGM, Senin (30/1).
Menurut Eddy, demikian panggilan akrabnya, pembuktian terbalik dalam pengembalian aset kejahatan korupsi hingga saat ini memang belum diatur secara jelas dan rinci. Dalam konteks perundang-undangan di Indonesia, dalam hal pembuktian terbalik absolut, terdakwa diembani kewajiban untuk membuktikan bahwa harta yang dimiliki bukan berasal dari kejahatan dianut dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 77 undang-undang a quo menyebutkan, â€Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaan bukan merupakan hasil tindak pidanaâ€. Seharusnya, undang-undang itu tegas mengatur konsekuensi dari pembuktian terbalik yang dilakukan oleh terdakwa. “Sayangnya, berdasarkan Pasal 77 juncto Pasal 78 Undang-Undang tersebut tidak diatur prosedur beracaranya atau setidak-tidaknya mengatur konsekuensi dari pembuktian terbalik itu,†imbuh pria kelahiran Ambon, 10 April 1973 itu.
Eddy menegaskan pembuktian terbalik dalam pengembalian aset kejahatan korupsi dapat digunakan melalui sarana hukum, baik perdata maupun pidana. Pengembalian aset kejahatan korupsi tanpa melalui penuntutan pidana secara implisit tercantum dalam Pasal 51 Ayat (1) UNCAC perihal bantuan hukum timbal balik di antara setiap negara peserta konvensi berkenaan dengan kekayaan yang diperoleh, melalui atau terlibat dalam kejahatan yang ditetapkan dalam UNCAC. “Pengembalian aset yang berasal dari tindak pidana melalui jalur keperdataan dengan menggunakan pembuktian terbalik tidak serta merta melanggar asas praduga tak bersalah atau privileged against self-incrimination, meskipun tidak perlu dibuktikan kesalahan terdakwa,†jelas dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM tersebut.
Dalam pidatonya, Eddy juga yakin bahwa tindakan represif terhadap kejahatan korupsi tidak hanya dengan menghukum pelaku kejahatan, tetapi juga dengan upaya mengembalikan aset kejahatan yang dikorupsi. Ada beberapa prasyarat dalam pengembalian aset kejahatan ialah kemauan politik negara, sistem hukum, kerja sama kelembagaan, serta kerja sama internasional.
Selain sifat dan karakter korupsi sebagai kejahatan luar biasa, Eddy juga menyampaikan beberapa dampak korupsi yang melatarbelakangi internasionalisasi kejahatan korupsi. Pertama, korupsi dianggap merusak demokrasi. Kedua, korupsi dianggap merusak aturan hukum. Ketiga, korupsi dapat mengganggu pembangunan berkelanjutan. Keempat, korupsi dapat merusak pasar. Kelima, korupsi dapat merusak kualitas hidup. Keenam, korupsi dianggap melanggar HAM. “Maka untuk itu, pembuktian merupakan hal yang sangat krusial dalam menyelesaikan suatu permasalahan hukum. Pembuktian merupakan jantung dalam persidangan suatu perkara di persidangan,†tutur Eddy. (Humas UGM/Satria AN)