Peneliti Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Surono, menuturkan bahwa saat ini telah terjadi inkosistensi dalam proses internalisasi nilai-nilai Pancasila pada anak-anak. Pasalnya, nilai-nilai kebaikan Pancasila diajarkan dengan setengah hati dan tanpa keteladanan. Penanaman nilai-nilai Pancasila masih dalam tataran kognisi belum sepenuhnya mampu menyentuh level afeksi maupun psikomotorik.
Dari hasil penelitian berjudul “Internalisasi Nilai-nilai Pancasila pada Anak melalui Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD): Studi Kasus PAUD Non Formal di Yogyakarta†yang dilakukan Surono diketahui bahwa sebagian besar pola pendidikan PAUD masih terfokus pada upaya untuk menumbuhkan kecerdasan kognitif. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah faktor kualitas sumber daya manusia dalam hal ini adalah tenaga pengajar. “Dalam kegiatan belajar mengajar, para pengajar cenderung bertindak sesuka hati, asal memenuhi kewajiban saja. Hal ini memang tidak dapat disalahkan, karena mereka hanya diberi honor Rp 5000,00 sekali datang. Yang menjadi persoalan berikutnya adalah untuk urusan pembangunan karakter bangsa kok cuma seharga 5000 perakâ€, ujar Surono Jum’at (3/2) di PSP UGM.
Surono menyebutkan satu kasus ditemukan pada sebuah lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) non-formal yang sedang melakukan upaya internalisasi nilai-nilai religiusitas. Ketika salah seorang guru PAUD memimpin doa, pada saat yang bersamaan, guru-guru yang lain justru sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. â€Hal seperti ini jelas sekali menunjukkan sebuah kontradiksi. Pada satu sisi, para guru ingin menanamkan nilai-nilai religiusitas, akan tetapi di sisi lain tidak ada “keteladanan†yang bisa memperkuat dan meyakinkan pada anak-anak bahwa berdoa itu adalah upaya meminta kepada Tuhan pencipta alam, sehingga harus dilakukan dengan khusyu’. Anak-anak diajarkan agar bersikap baik dan khusyu’ dalam berdoa, tetapi para guru dan pegawai justru menunjukkkan sikap sebaliknya,†paparnya.
Melihat kondisi tersebut, Surono menghimbau masyarakat dan pemerintah untuk lebih serius menghidupkan PAUD non-formal, karena lembaga ini memiliki posisi yang sangat strategis dalam pembentukan karakter bangsa Indonesia. Terlebih lagi, di lembaga inilah para anak dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya berkumpul. Posisi PAUD dalam upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila sangat strategis. Apalagi dengan melihat data dari Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini tahun 2009, selama tujuh tahun terakhir ini perkembangan Angka Partisipasi Kasar PAUD di Indonesia mencapai 15,3 juta atau 53,6%.
Disampaikan Surono, bahwa kedepan perlu adanya evaluasi kritis terhadap visi, misi, dan pilar kebijakan PAUD di Indonesia agar jenjang PAUD bisa mencapai tujuan pendidikan nasional. Selain itu juga mendesain paud sebagai pondasi pendidikan untuk semua, melakukan penambahan materi yang berkaitan dengan nilai-nilai kepancasilaan dan kebangsaan PAUD, serta meningkatkan kualitas dan penyamaan persepsi SDM PAUD. (Humas UGM/Ika)