Pada periode 1980-an pertanian padi menghadapi masalah baru yang tidak diharapkan yaitu surplus komoditi di pasaran domestik dan dunia yang berakibat turunnya harga padi dan pendapatan petani. Sementara kebutuhan terhadap padi dinilai relatif tetap atau malah menurun. Hal ini terjadi karena perbaikan pendapatan penduduk bergeser dari pola konsumsi ke makanan yang lebih terdiversifikasi.
“Masalah semakin memburuk karena pemerintah tidak mempunyai cukup anggaran untuk menjaga harga padi pada level yang menguntungkan petani, dan juga karena penurunan devisa dari minyak dan gas,” papar Drs Agus Sutanto MSc belum lama ini di Fakultas Geografi UGM.
Dirinya mengatakan hal itu saat melaksanakan ujian terbuka program doktor UGM bidang Ilmu Geografi. Promovendus mempertahankan desertasi “Pembangunan Pertanian dan Penghidupan Pedesaan Pada Agro-Ekosistem Yang Berbeda di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” dengan bertindak selaku promotor Prof Dr AJ Suhardjo MA dan ko-promotor Prof Dr Ir Sri Widodo MSc serta Prof Dr Soekanto Reksohadiprojo MCom.
Menurut Agus Sutanto, kondisi tersebut diatas mendorong pemerintah melakukan diversifikasi pertanian. Namun upaya tersebut masih menghadapi hambatan, diantaranya keterbatasan lahan dan kurangnya fleksibilitas lahan sawah, target dan fokus pada komoditas padi, ketertinggalan teknologi pertanian non-padi dan kelemahan rekayasa sosial dalam respon petani untuk diversifikasi.
Lebih lanjut dikatakan, agro-ekosistem yang berbeda memiliki perbedaan potensi sumberdaya, infrastruktur dan pelayanan, serta kondisi sosial ekonomi rumahtangga lainnya. Wilayah dataran tinggi (upland) dan pertanian tadah hujan, katanya, dipandang kurang memperoleh perhatian yang cukup dibandingkan dengan lowland lahan sawah.
“Meski terdapat daerah yang maju dengan pertanian yang komersial, umumnya kesejahteraan daerah upland lebih tertinggal dibanding lowland. Hal ini menjadi justifikasi perlunya penelitian pembangunan pertanian pada jenis agro-ekosistem yang berbeda,” tuturnya.
Dalam hidup keseharian, tutur Agus, rumahtangga tani di perdesaan menghadapi lingkungan dan faktor eksternal yang potensial untuk merubah kondisi penghidupannya. Ada perubahan musiman, tren,atau goncangan (‘shock’) yang berpengaruh langsung maupun tak langsung terhadap usaha tani dan penghidupan rumahtangga tani dengan skala dan intensitas berbeda.
“Perubahan musiman dan tren cenderung bersifat gradual, sedangkan goncangan (shock) lebih mendadak dan tidak terprediksi. Krisis moneter tahun 1998 menjadi contoh shock dan penting untuk dipelajari pengaruhnya terhadap rumahtangga tani, kerentanan dan daya tahan serta respon dan cara mengatasinya, coping with crisis,” jelasnya. (Humas UGM).