Yogya, KU
Salah satu upaya mengurangi angka kemiskinan di pedesaan adalah menanggulangi pengangguran misalnya berwiraswasta, mencari pekerjaan di kota, transmigrasi dan menjadi tenaga kerja di luar negeri. Yang terakhir ini, sebagai pekerja migran atau yang lebih dikenal dengan tenaga kerja indonesia (TKI) sudah diakui dan terbukti telah dapat menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan di pedesaan secara signifikan.
Hal tersebut diakui oleh anggota Komisi IX DPR RI Tuti Indarsih Loekman Sutrisno dalam seminar bulanan PSPK UGM, Kamis sore (7/8) di Kampus UGM. Menurut Tuti Indarsih, jumlah remittance (pengiriman uang) yang dikirimkan atau dibawa oleh TKI cukup besar dibanding devisa yang diperoleh negara dari hasil ekspor non migas, non gas dan sektor non pemerintah.
“Data menunjukkan bahwa remittance yang dikirimkan cukup besar dari devisa hasil ekspor lainnya,†katanya.
Tuti menyebutkan, tercatat jumlah remittance TKI dari tahun ke tahun mengalami peningkatan cukup drastis. Pada tahun 1998 sampai 1999 pendapatan remitance sebesar 1, 2 milyar dollar. Lalu meningkat menjadi 2 milyar dollar di tahun 2001. Kemudian di tahun 2002 naik menjadi 2,1 milyar dollar, dan kemudian mengalami penurunan menjadi 1 milyar dollar di tahun 2003.
“Pada tahun 2003, banyak TKI kita yang pulang,†imbuhnya.
Sementara pada tahun 2005 jumlah total remittance mencapai 2,5 milyar dollar. Namun diakui oleh Tuti, jumlah remittance ini pada kenyataannya lebih besar karena tidak semua aliran remittance tersebut dicatat.
Meskipun demikian, imbuh Tuti, jumlah remittance yang diterima oleh TKI masil tetap lebih rendah dibandingkan oleh tenaga kerja migran dari negata lain seperti misalnya India, Bangladesh dan Philipina.
“Rendahnya jumlah remittance ini disebabkan banyaknya remittance yang tidak terdaftar, Gaji TKI kita yang rendah dan atau sering tidak dibayar, serta tingginya biaya penempatan dan biaya-biaya lain yang diambil dari gaji,†katanya.
Padahal jumlah remittance yang didapatkan melalui TKI merupakan pemasukan yang signifikan bagi daerah asal TKI, bahkan jumlahnya lebih besar dari PAD Provinsi, misalnya di Jawa Timur dan NTB dan Kabupaten Suka Bumi. Selain itu, di tingkat masyarakat, remittance dari TKI ini telah mampu menstimulir kegiatan ekonomi terutama yang diperlukan oleh TKI misalnya untuk membuka usaha wartel, ojeg, kredit sepeda motor, membuka toko bahan bangunan dan sebagainya.
Di lingkungan keluarga, kebanyakan remittance digunakan untuk membayar hutang keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, memperbaiki rumah dan membeli perabot. Kalau pun ada sisa uang, biasanya digunakan untuk membeli perhiasan emas, sepeda motor, tanah atau menyewa sawah., membeli ternak dan membiayai sekolah anaknya.
“ Namun sangat sedikit yang berhasil menggunakannya sebagai modal usaha,†tegasnya.
Sebagai pahlawan devisa negara, pencapaian jumlah remittance yang didapatkan para TKI ini dilakukan dengan pengorbanan yang cukup berat dan besar, dalam bahasa Tuti indarsih, mereka harus melalui “Sweat, tears, blood and soulâ€.
“Banyak yang harus dilakukan untuk nelindungi mereka dan menghindarkan mereka yang mengalami penderitaan untuk menjadi pahlawan devisa,†ujarnya.
Menurut isteri Guru Besar FIB UGM, almarhum Prof Lukman Sutrisno ini, beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk melindungi para TKI diantaranya, pertama, melakukan pengaturan yang lebih baik mulai dari tahap perekrutan, pelatihan, pengiriman, penempatan dan pemulangan. Kedua, memberi perlindungan hukun di negara penerima, dan ketiga, memberikan bantuan untuk mengelola remittance mereka agar dapat digunakan sebagai modal usaha sehingga mereka tidak perlu lagi kembali bekerja sebagai TKI. (Humas/Gusti Grehenson)