Banalitas intelektual semakin merebak dalam dunia pendidikan saat ini, termasuk pada pendidikan tinggi. Fenomena ini ditandai dengan pendangkalan yang tidak disadari disertai dengan menurunnya kualitas akademik dan sekaligus merosotnya komitmen terhadap bidang ilmu yang digeluti para akademisi. Para akademisi terlihat cenderung lebih mementingkan nilai pragmatis dari pada nilai-nilai pengetahuan, banyak melakukan penelitian tetapi hasilnya kurang terasa dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tidak memiliki semangat kerja dan asketisme akademik yang tinggi.
Prof. Drs. Heru Nugroho, S.U., Ph.D., menegaskan perlunya adanya penguatan kultur akademik agar bisa mendorong etos kerja akademik dengan mewujudkan kelembagaan dan infrastruktur yang memadai untuk mereduksi banalitas intelektual di perguruan tinggi. Semisal, universitas memfasilitasi networking, seminar, perpustakaan, maupun publikasi di forum bergengsi. Disamping itu, negara juga harus memberikan jaminan kesejahteraan kepada intelektual kampus. Tidak hanya dengan sertifikasi dosen dan tunjangan guru besar saja, tetapi setara dengan jaminan internasional.
“ Selain itu juga dengan melakukan penguatan kelembagaan universitas berbasis disiplin, punishment, dan pengawasan sistem hingga mencapai internalisasi diri, dan mewujudkan jaminan kebebasan, independensi serta ketertiban akademik berbasis autran perundang-undangan nasional,†jelasnya saat dikukuhkan dalam jabatan Guru Besar pada Fakultas ISIPOL, Selasa (14/2) di Balai Senat UGM.
Dikatakan Heru, menguatnya fenomena banalitas intelektual di perguruan tinggi tidak lepas dari bagaimana pola relasi kuasa yang sedang bekerja antar negara dan universitas. Secara ideal, seperti yang terjadi di negara-negara maju, universitas diberi pendanaan baik oleh negara atau sumber lain, sekaligus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan akademik tanpa intervensi politik dan administrasi. Pada kenyataannya, kata Heru menyitir pendapat almarhum Umar Kayam, organisiasi perguruan tinggi di tanah air justru seperti “jawatan pemerintah†sehingga bisa jadi diperlakukan sebagai “dinas†pemerintah yang tugasnya melaksanakan instruksi pusat dalam hal ini instruksi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam pidato berjudul “ Negara, Universitas dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalamâ€, Heru menuturkan meskipun perubahan politik pasca reformasi telah menciptakan otonomi, namun secara riil pendidikan tinggi masih berada di bawah cengkraman kuasa negara. Sebagai contoh berbagai kebijakan penelitian hibah Dirjen Dikti yang sangat administratif dan birokratis. Format penelitian juga distandardisasi, administrasi keuangan yang rumit, sementara instrument untuk melihat aspek substansi penelitian cenderung terabaikan. Sejumlah kebijakan di bidang penelitian di lingkungan Dikti juga mengkondisikan aktivitas penelitian yang jauh di bawah standar salah satunya kebijakan pemerataan dana penelitian ke perguruan tinggi. Kebijakan semacam ini hanya demi penyerapan anggaran dan untuk memenuhi tuntutan administrasi pemerintah yang lebih mementingkan output daripada outcome. Akibatnya substansi akademik tidak tercapai dan banyak di bawah standar. †Ini semua merupakan akibat dari politik penguasaan anggaran penelitian oleh negara agar negara dapat mengontrol universitas. Akbitanya Universitas tidak independen sebagai dampaknya terjadilah banalitas intelektual alam penelitian,†papar Sosiolog yang lahir di Yogyakarta, 9 Januari 1959.
Heru menambahkan lemahnya tata kelola dan kelembagaan universitas juga menjadi salah satu pemicu munculnya banalitas intelektual di perguruan tinggi. Bahkan saat ini yang terlihat universitas cenderung menjadi area perebutan kekuasaan bagi para pemangku kepentingan. (Humas UGM/Ika)