Berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran HAM masih saja terjadi di Indonesia meskipun sudah ada undang-undang yang memberikan perlindungan normatif atas HAM. Guru Besar Fisipol UGM, Prof. Dr. Mohtar Mas’oed menyebutkan kejadian ini sebagai sebuah tragedi bagi bangsa Indonesia. Kasus pelanggaran HAM yang terjadi secara berulang-ulang dikarenakan pola pikir pemerintah yang berorientasi pada upaya untuk mengumpulkan dan mengakumulasikan kapital.
“ Dampaknya, dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi melahirkan ketimpang sosial dan politik yang pada akhirnya menimbulkan ketegangan dan tindak kekerasan oleh masyarakat dan negara,†terangnya, Kamis (16/2) di Fakultas Hukum (FH) UGM dalam Sarasehan “Indonesia Negara Hukum: Paradoks Eksistensi Negara dan HAM†memperingati dies natalis ke-66 FH UGM.
Mohtar mengatakan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia bersifat sistem dan struktural. Pelanggaran HAm di Indonesia berasal dari akar struktural, bukan karena kesalahan maupunkejahatan seseorang. Sebagai contoh, pemerintah mengizinkan bahkan membiarkan sebuah perusahaan yang akan memperluas lahan perkebunan, penambangan, dan proyek meskipun hal tersebut merugikan dan bahkan melanggar HAM masyarakat.
Kuatnya pola pikir pro kapital yang menjadi masalah tersebut juga ditegaskan kembali oleh Dr. Haryatmoko,dosen Universitas Sanata Dharma. Menurutnya, maraknya pelanggaran HAM disebabkan oleh gagalnya pengadilan dalam memberikan keadilan pada aneka pelanggaran HAM masa lalu. Berbagai persitiwa pelanggara HAM yang dibiarkan berlarut-larut tanpa ada prosespengadilan melemahkan ingatan masyarakat serta memburamkan sejarah masa lalu bahwa telah terjadi pelanggaran HAM. “Akibatnya, sejarah akan bingung mencatat siapayang sesungguhnya menjadi algojo dan siapa yang sesungguhnya menjadi korban,†tukasnya.
Haryatmoko menjelaskan bahwa ketidak jelasan ini membuat korban pelanggaran HAM terkena viktimisasi kedua, yaitu penundaan keadilan. Selain itu, terdapat implikasi lain yang lebih mengkhawatirkan yaitu publik menjadi tidak belajar dari sejarah bahwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi adalah salah. Akibatnya pelanggaran HAM berpotensi terulang. Kegagalan berperannya pengadilan ini juga disebabkan oleh hukum yang berkarakter memihak yang
kuat saja.
Sementara, Dyah Saptaningrum, SH., LL.M., Direktur eLSAM menyoroti pemerintah yang masih belum bisa merealisasikan perlindungan normatif menjadi realitas empiris, meskipun secara normatif sudah ada jaminan tekstual yang cukup kuat. Masih saja terjadi kesenjangan antara jaminan dan normatif seperti belum bisa merealisasikan kewajiban anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, belum dilakukannya penyesuaian perundang-undangan dengan standar HAM, serta hak asasi belum sepenuhnya menjadi hak yang bisa dituntut secara hukum pemenuhannya.
Disamping itu, menurut Dyah negara terkesan absen atau membiarkan adanya ancaman terhadap perlindungan HAM. Hal ini terlihat pada kasus Gereja Yasmin, penyerangan pada agama-agama minoritas seperti pada jamaah Ahmadiah dan Syiah serta kasus lain yang melibatkan aktor non negara pada kasus Lapindo dan Newmont.
“Perangkat negara dalam hal ini juga menjadi bagian aktif dalam tindakan pelanggaran HAM, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menggunakan kekuatan yang berlebih pada warga negara saaat terjadi konflik lahan dan konflik antar perusahaan versus masyarakat atas akses pengelolaan SDA, bahkan menjadi pelaku dalam kasus penyiksaan,†jelasnya.
Drs. Hery Zudianto, Akt., MM. 10 dalam kesempatan itu banyak berbagi tentang pembangunan kota Yogyakarta saat berada di bawah kepemimpinannya. Disebutkan Hery pada masa itu ia menerapkan pemerintahan berbasis pada penghormatan HAM. (Humas UGM/Ika)