
Ideologi gender Muhammadiyah ternyata menyimpan fragmentasi dengan munculnya realitas ganda dari kesenjangan normatif-teologis yang berideologi gender (laki-laki sebagai kepala keluarga dan istri berperan subordinat komplementer) dan realitas praksis yang mencerminkan senior-junior partnership (kemitraan senior-junior) yang lebih luas memberi peran pada perempuan. Fregmentasi ini menjadi lebih nyata dengan menguatnya kelompok progresif yang mengadvokasi ideologi gender equal partnership (kemitraan-setara).
“Muktamar ke-46 pada tahun 2010 dapat dimaknai sebagai langkah Muhammadiyah melintas zaman karena pergeseran isu gender yang mendekati ideologi kemitera-setaraan yang terjadi pada ranah teologis dan ranah praksis secara bersamaan,”kata Siti Ruhaini Dzuhayatin, pada ujian program doktor Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Sabtu (18/2) di R.Pascasarjana Fisipol UGM. Dalam kesempatan itu Ruhaini mengangkat disertasinya yang berjudul Rezim Gender Muhammadiyah: Kontestasi Gender, Identitas dan Eksistensi.
Pada ranah teologis, pengakuan imam sholat perempuan terhadap laki-laki, meski dengan catatan: terbatas pada konteks tertentu, telah mampu meruntuhkan superioritas laki-laki yang absolut dan omnipresent. Pada ranah praksis, masuknya perempuan dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah mampu mendobrak ekslusifitas maskulin Persyarikatan yang bertahan selama seratus tahun.
“Nah pergeseran rezim ini akan bertahan atau tidak tergantung sejauhmana kelompok progresif yang merupakan kelompok periferi mampu mengarusutamakan ide kesetaraan gender dalam Persyarikatan,”papar dosen UIN Sunan Kalijaga tersebut.
Dalam penelitian yang dilakukan, Ruhaini menyimpulkan bahwa gender merupakan faktor penghubung yang menjembatani hubungan Muhammadiyah dan kekuasaan politik, meski pada saat keduanya berseberangan secara ‘oposisi-adversial’ pada dataran ideologi formal. Keniscayaan ini, jelas Ruhaini, disebabkan kedekatan ideologi gender Muhammadiyah dan budaya politik nasional dengan fakta sebagian besar membuka wacana peran ganda perempuan pada tahun 1980an, Muhammadiyah memiliki cadangan referensi perempuan beraktifitas produktif-ekonomis pada komunitas Kauman yang tertuang dalam buku Adabul Mar’ah fil Islam.
“Bahkan pada rezim gender Orde Baru bergeser menjadi lebih konservatif dengan ideologi gender priyayi head complement, Muhammadiyah memiliki justifikasi gender priyayi head complement, Muhammadiyah memiliki justifikasi buku Toentoenan Mendjadi Isteri Islam Jang Berarti,”terang perempuan kelahiran Blora, 17 Mei 1963 itu.
Ia menjelaskan bahwa fakta-fakta sosio-historis dalam penelitian ini menguatkan tesis Taufik Abdullah bahwa organisasi keagamaan modern di Indonesia memperlakukan teks agama sebagai alat legitimasi terhadap gerakan praksis yang telah lahir mendahuluinya. Kesimpulan itu menurut Ruhaini memberi kredit bagi Muhammadiyah sebagai gerakan otentik yang muncul dari kesadaran kontekstual dan khas, dan sekaligus mengoreksi pendapat peneliti terdahulu, seperti Alwi Shihab yang menyimpulkan bahwa Muhammadiyah muncul karena pengaruh gerakan pembaharuan Timur Tengah yang bersifat transmitif
Penelitian yang dilakukan Ruhaini juga menyimpulkan bahwa patriarkhi sebagai suatu ideologi cultural tidak bersifat solid dan permanen tetapi ‘fragmented’ dan distorted. Fregmentasi ini tergantung pada sejauhmanakah tersedianya ruang kontestasi ideologi gender dalam suatu kolektifitas. Kontestasi ideologis terjadi karena perbedaan pandangan tentang ‘modal socio-kultural’ (social modalities) yang dilekatkan pada gender yang menjadi faktor determinan ‘status sosial’.
“Di Muhammadiyah fregmentasi juga ada dengan adanya realitas ganda yang distorsif antara ideologi formal tertulis yang berorientasi pada ideologi gender head-complement yang menjadi referensi kelompok tekstualis, namun pada dataran praksis menggambarkan ideologi senior-junior partnership kelompok moderat,â€pungkas Wakil Indonesia sebagai Komisioner HAM, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) tersebut (Humas UGM/Satria AN)