Partisipasi pria untuk mengikuti program KB masih rendah. Salah satunya disebabkan minimnya akses laki-laki terhadap perolehan informasi, pelayanan KB, dan kesehatan reproduksi.
Menurut Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM Issac Tri Oktaviatie, S.Ant, MSc, kurangnya promosi atau sosialiasi tentang KB pria dikarenakan kebijakan KB di Indonesia yang masih berfokus pada pencapaian target peserta KB perempuan. Perempuan masih tetap menjadi sasaran utama sosialisasi program KB dengan harapan istri yang akan mengkomunikasikan dan menegosiasikan pemakaian alat kontrasepsi (alkon) kepada suaminya.
“Hal ini tentunya menjadi tidak sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan peran serta pria dan kesetaraan gender dalam konteks keluarga berencana karena tidak secara serius menjadikan pria sebagai target sasaran program KB,†jelasnya, Jum’at (24/2) dalam diskusi “KB Pria di Indonesia: Program Setengah Hati†di Gedung Masri Singarimbun PSKK UGM.
Issac menuturkan meskipun telah ada ratifikasi terhadap kebijakan program KB dengan mendorong peningkatan alat kontrasepsi pria dan tidak menitikberatkan isu kesehatan reproduksi hanya pada pemerintah, upaya untuk meningkatkan jumlah peserta KB pria masih cukup berat. Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007 menunjukkan partisipasi pria untuk mengikuti KB masih rendah. Persentase tertinggi pemakaian kondom hanya mencapai 1,3 %, sedangkan vasektomi belum pernah mencapai 1 % sejak 1991. “Hal ini menjadi sebuah tantangan bagi pemerintah dalam mengendalikan laju pertambahan penduduk,†tukasnya.
Aspek sosial budaya masyarakat Indonesia, lanjutnya, juga menjadi faktor penyebab rendahnya kesadaran pria untuk berperan menyukseskan program KB. Dari hasil penelitian yang dilakukan di kabupaten Gunung Kidul, diketahui bahwa masyarakat masih mempersepsikan KB merupakan tanggung jawab perempuan. Selain itu, pemakaian alat kontrasepsi kondom mengurangi kenyamanan saat melakukan hubungan seksual dengan pasangan dibanding jenis-jenis alat kontrasepsi perempuan yang ada. Sementara metode vasektomi masih dipersepsikan sebagai bentuk pengkebirian dan akan mengurangi kekuatan pria. Pandangan yang keliru tentang vasektomi ini telah melahirkan stigma terhadap akseptor yang dianggap oleh masyarakat sekitar sebagai pria takut isteri. Kekhawatiran juga muncul dari perempuan yang beranggapan dengan vasektomi justuru akan meningkatkan peluang suami untuk tidak setia pada pasangan karena tidak meninggalkan jejak.
“Sosialisasi yang memadahi tentang berbagai pilihan metode kontrasepsi,khusunya bagi pria menjadi penting dan krusial untuk dibeikan secara merata kepda masyarakat agar tidak lagi muncul kesalahan persepsi tentang penggunaan alat kontrasepsi,†terangnya.
Disamping hal itu, kata Isssac, penting untuk segera dilakukan advokasi anggaran daerah diupayakan lebih berpihak pada pemenuhan kebutuhan kesehatan reproduksi perempuan mencakup KB pria. “PLKB juga diupayakan untuk lebih aktif dalam mempromosikan alat kontrasepsi pria, jangan hanya melimpahkan tanggung jawab sosialisasinya pada kader KB di masyarakat,†tegasnya.
dr. G. Anung Trihadi dari Dinas Kesehatan Provinsi DIY juga melihat kurangnya informasi yang diterima pria sebagai penyebab rendahnya keikutsertaan pria dalam program KB. “Informasi mengenai pelayanan KB dan kesehatan reproduksi biasanya hanya diperoleh melalui isteri. Sementara dengan budaya patriarkhi yang melekat di masyarakat menjadikan informasi yang dibawa isteri ini sangat rawan ditolak oleh suami,†jelasnya.
Anung menyebutkan minimnya pilihan alat kontrasepsi juga menjadi penyebab rendahnya peran pria untuk ikut ber-KB. Namun, saat ini pemerintah telah membuat terobosan baru dengan menciptakan alternatif metode KB yaitu metode kontrasepsi hormonal yang diberikan dengan suntikan setiap bulan. Metode ini bisa menekan angka kehamilan hingga 98 persen. “Dengan metode hormonal ini kemungkinan wanita hamil hanya mencapai 1-2% saja,†urainya. (Humas UGM/Ika)