YOGYAKARTA – Indonesia dikenal kaya akan sumber daya alam berupa hutan yang tersebar di seluruh nusantara. Selama ini hasil hutan non kayu yang berasal dari tanaman dan bersifat dapat diperbarui belum sepenuhnya mendapatkan perhatian dari para pemangku kepentingan di sektor kehutanan. Padahal tanaman non kayu memberikan kontribusi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang signifikan.
Beberapa hasil kerajinan serat alam non tekstil diantranya kerajianan anyaman agel, pandan dan bambu. Namun produk kerajinan anyaman ini belum dikeloa dengan baik dan mengalami berbagai kendala karena sulitnya mendapatkan bahan baku. “Di DIY, saat ini hampir semua industri anyaman tidak dapat lagi mengandalkan bahan baku dari kawasan setempat,†kata Peneliti Balai Besar Kerajinan dan Batik DIY, Ir. Retno Widiastuti, MM., dalam ujian promosi doktor di Fakultas Kehutanan, Jumat (24/2).
Dalam disertasi ‘Mendedah Industri Kerajiann Berbasis Serat Alam Non Tekstil di DIY’, dia mengatakan ditemukan bahwa pelaku usaha industri anyaman tersebut tidak mampu mencukupi bahan baku maupun pengolahan lebih lanjut serta pemasaran hasil produk. Pasalnya, tidak adanya penguatan kelembagaan usaha bersama, minimnya perhatian pemerintah daerah melalui dinas terkait pada industri serat alam non tekstil ini. “Sehingga diperlukan penguatan kelembagaan dengan dibentuknya asosiasi atau kelompok usaha bersama untuk memperkuat posisi tawar pelaku usaha,†katanya.
Untuk menjaga ketersediaan pasokan bahan baku secara terus menerus, Retno mengusulkan perlu digalakkan budidaya tanaman serat alam non tekstil di kalangan petani dengan memanfaatkan lahan kurang produktif, batas-batas desa, batas pekarangan maupun tegalan. “Kalo perlu diberikan insentif kepada petani yang menanam bahan baku kerajian,†katanya.
Menurutnya, peluang usaha non kayu serat alam ini sebetulnya mampu membangun ekonomi rakyat dengan ketersediaan bahan baku, benih, bibit, teknologi budidaya maupun pengolahannya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)