YOGYAKARTA – Pemerintah disarankan mengikuti langkah yang dilakukan oleh pemerintah Jepang yang menggunakan gedung sekolah sebagai shelter bagi pengungsi jika terjadi bencana. Karenanya perlu dirancang bangunan sekolah yang tahan gempa dengan fasilitas sanitasi yang lebih baik.
Hal itu disampaikan oleh Pakar bencana asal Jepang, Prof. Stefano Toshiya Tsukamoto, ditemui di sela kuliah umum ‘Manajemen Bencana dan Partisipasi Masyarakat’ di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol), Kamis (1/2).
Dosen pengajar sekolah pascasarjana Ilmu Politik Internasional, Ekonomi dan Komunikasi, Universitas Aoyama Gakuin, Tokyo, Jepang ini menegaskan konsep manajemen bencana yang diterapkan di Jepang belajar dari pengalaman bencana gempa di Kobe tahun 1995. “Sekarang di Jepang gedung sekolah digunakan untuk tempat penampungan pengungsi. Selain mengajarkan simulasi bencana,†katanya.
Bangunan sekolah yang kuat bukan hanya diperuntukan untuk tempat shelter tapi juga melindungi keselamatan anak-anak saat terjadi gempa. “Di Jepang, sekolah-sekolah dibangun agar bisa resisten terhadap gempa,†katanya.
Dari pengamatannya terhadap model penanganan pasca bencana di Indonesia yang asih menempatkan pengungsi tinggal di bawah tenda yang menurutnya sangatlah tidak nyaman. Karenanya perlu dicarikan gedung yang baik dan nayaman, yakni gedung sekolah. â€Orang akan menghadapi masalah serius ketika hidup di tenda, padahal dia tertimpa bencana,†ungkapnya.
Dia menyoroti kondisi Indonesia tidak berbeda jauh dengan Jepang sebagai Negara yang rawan terkena bencana, mulai dari bencana gempa bumi, tsunami hingga erupsi gunung berapi. Sehingga pemerintah dinilai perlu untuk memprioritaskan partisipasi masyarakat dalam program manajemen pasca-bencananya. “Manajemen bencana tidak harus selalu diartikan sebagai proses top-down, dimana pemerintah menjadi aktor yang berperan dalam penentuan kebijakan manajemen bencana dan mengimplementasikan pada masyarakat,†katanya.
Dia menambahkan, partisipasi masyarakat merupakan solusi atas kesulitan yang selama ini selalu timbul dalam metode manajemen pasca-bencana yang tidak menyertakan keterlibatan masyarakat itu sendiri. “Permasalahan yang biasanya timbul adalah adanya keenjangan di dalam program manajemen bencana itu sendiri,†katanya.
Sementara Dosen Hubungan Internasional UGM, Dr. Muhadi Sugiono, masyarakat Jepang memiliki karakter yang kuat dalam mengahdapi bencana dan pasca bencana. “Mereka bisa hidup erat satu sama lain. Itu semua berkat kemampuan politik pemerintah dalam menyiapkan masyarakat agar siap dengan bencana,†tuturnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)