Erupsi Merapi telah berlalu lebih dari satu tahun. Namun berbagai persoalan pasca erupsi masih menumpuk, salah satunya adalah mengenai lahan pertanian. Melihat kondisi tersebut Fakultas Peternakan UGM berupaya melakukan penelitian dan pengkajian tentang peluang dan potensi lahan bekas erupsi Merapi untuk pertanian. Salah satu yang dilakukan adalah dengan membangun lahan percontohan pertanian atau demplot di lahan bekas erupsi Merapi.
Bambang Suwignyo, S.Pt., M.P., Ph.D., selaku koordinator tim dari Laboratorium Hijauan dan Makanan Ternak dan Pastura Fakultas Peternakan menuturkan program pemulihan ini diilhami oleh pengembangan lahan pasir di pesisir Pantai Congot, Kulon Progo yang ditangani oleh tim Fakultas Peternakan. Lahan pasir di pesisir Pantai Congot dan lahan bekas erupsi Merapi dinilai memiliki kemiripan fisik. “Saat ini tim Fakultas Peternakan bersama LSM lokal, masyarakat dan mahasiswa tengah membuat demplot untuk menjawab tantangan dari masyarakat apakah lahan bekas erupsi Merapi yang berupa lahan berpasir bisa dijadikan sebagai lahan pertanian,†urainya belum lama ini.
Bambang memaparkan pembuatan demplot dilakukan di dua daerah yaitu daerah bekas awan panas dan daerah lahar Merapi. Sejumlah tanaman di coba ditanam di demplot tersebut antara lain jagung, kacang tanah dan rumput gajah yang saat ini telah berumur 8 hari. Pada pelaksanaannya sebagian lahan diberi pupuk kandang dan pupuk kompos, sementara sebagai kontrol adalah lahan dengan tidak diberikan pupuk.
Dari pengamatan sementara dituturkan Bambang menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan biji kacang tanah pada lahan yang diberi pupuk berkisar antara 60-70% sampai pada minggu pertama sejak penanaman biji sedangkan kontrol berkisar 15-25%. Untuk biji jagung memiliki daya tumbuh yang hampir merata baik dengan adanya pupuk maupun tidak yaitu antara 60-70%. Pengamatan akan dilanjutkan untuk minggu kedua nanti dan seterusnya. “Harapannya pada minggu kedua daya tumbuh biji bisa mencapai 80% atau lebih, sebagai indikator awal persentase normal tumbuhnya biji seperti halnya lahan biasa,†tukasnya.
Lebih lanjut disampaikan Bambang, tim Fakultas Peternakan bersama LSM lokal telah melakukan pendampingan kepada masyarakat yang menempati huntara di Desa Kepuharjo sejak November 2011. Masyarakat tersebut pada umumnya adalah pemilik lahan pertanian di daerah di sekitar Sungai Gendol. Masyarakat di kawasan tersebut hingga saat ini masih belum menggarap lahan pertanian yang terkena erupsi karena tidak memiliki dana untuk pemberdayaan lahan, dan waktu yang kurang tepat.
“Yang jadi persoalan utama, masyarakat masih ragu apakah lahan bekas erupsi bisa dimanfaatkan untuk pertanian seperti saat belum terjadi erupsi. Selain itu masyarakat juga lebih memilih untuk menjual pasir di lahan bekas erupsi yang pasti akan memberikan penghasilan dari penjualan tersebut. Melalui demplot ini harapannya mampu meyakinkan masyarakat kalau lahan bekas erupsi Merapi tetap berpotensi digunakan untuk lahan pertanian,†jelasnya. (Humas UGM/Ika)