YOGYAKARTA – Situasi dunia usaha konstruksi saat ini sangat tidak sehat dan ditengarai terbentuknya pasar oligopsoni yang akan mendorong perilaku predatory pricing yang dilarang dalam UU Persaingan Usaha. Oligopsoni adalah kondisi dimana terdapat banyak pelaku usaha memperebutkan sedikit tawaran usaha. Sehingga pendapatan rata-rata baik buruh maupun tenaga ahli yang bekerja di sektor ini merupakan yang termasuk paling rendah yaitu peringkat kelima setelah berbagai pekerjaan profesional lain.
“Yang terjadi justru eksploitasi tenaga kerja yang luar biasa di sektor ini karena komponen alat dan bahan pada umumnya merupakan biaya tak terhindarkan, yang berakibat mutu produk juga terkorbankan,†kata Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UGM Prof.Dr. Tech. Ir Danang Parikesit, M.Sc., bedah buku berjudul ‘Konstruksi Indonesia 2011 : Penyelengaraan Infrastruktur Berkelanjutan, Inovasi, Investasi dan Dukungan Sektor Konstruksi di Indonesia’ yang berlangsung di University Club UGM, Sabtu (10/3).
Selain Danang, Hadir sebagai pembicara, Ir Bayudono MSc (Staf Ahli Gubernur DIY), Ir. Ilham Purnomo MT (Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi DIY) dan dipandu moderator Dr Ir Akhmad Suraji (Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Wilayah DIY).
Pendapat yang sama juga disampaikan Ilham Purnomo. Dia menjelaskan kondisi badan usaha yang tidak sehat tersebut mengakibatkan banyak tenaga ahli yang memilih untuk meminjamkan ijazah maupun sertifikat ahlinya ke perusahaan lain untuk mengerjakan proyek dengan kompensasi uang senilai tertentu, dibanding menjalankan usaha sendiri. Karena dengan meminjamkan sertifikat tersebut lebih minim risiko. Selain itu, banyak pula perusahaan yang memilih meminjam “bendera†perusahaan lain ketimbang menggunakan badan usaha miliknya sendiri untuk mengerjakan suatu proyek.
Situasi tersebut kian memprihatinkan dengan billing rate tenaga ahli yang terbilang rendah. Seorang tenaga ahli perusahaan digaji hanya 4-6 bulan sesuai dengan jangka waktu pekerjaan untuk hidup satu tahun. Karena proyek-proyek pemerintah pada umumnya hanya berlangsung 4-6 bulan dalam satu tahun. “Kemudian standar harga satuan pekerjaan, bahan, material, yang ditetapkan oleh pemerintah juga cukup rendah,†tandas Ilham.
Dia mengemukakan biaya operasional perusahaan dengan kualifikasi K1 di DIY mencapai Rp 130 juta per tahun. Padahal rata-rata Konsultan K1 hanya mendapatkan pekerjaan tunjukan rata-rata dua paket senilai Rp 25-50 juta per tahunnya. Dengan demikian perusahaan tersebut tidak akan sehat dan tak mampu menghidupi tenaga ahlinya.
“Dari sisi ketersediaan SDM ahli yang bersertifikat, secara umum juga hanya mampu mencukupi 80 persen dari kebutuhan. Misalnya setiap perusahaan konsultan, rata-rata hanya memiliki 4-5 orang tenaga ahli. Jumlah ini kurang dari yang dipersyaratkan bagi Konsultan K1 yang harus memiliki 6 tenaga ahli. Demikian pula untuk kontraktor,†ungkapnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)