YOGYAKARTA – Inseminasi buatan telah digunakan secara luas di Indonesia guna memacu peningkatan populasi dan mutu ternak sapi. Namun, keberhasilan penggunaan inseminasi buatan masih sangat rendah. Hal itu dapat dibuktikan dengan masih tingginya jarak beranak, yakni sekitar 24 bulan akibat adanya gangguan reproduksi fungsional.
Pakar reproduksi dan kebidanan hewan ruminansia dari Fakultas Kedokteran Hewan UGM, drh. Surya Agus Prihatno, M.P., menuturkan dari hasil penelitiannya gangguan reproduksi fungsional pada sapi perah di DIY diketahui mencapai rata-rata 20% dari total populasi. Gangguan reproduksi tersebut meliputi silent heat 18%, hypofungsi ovaria 21%, endometritis ringan 5%, dan kista folikuller 9%. “Di Kulon Progo, kita menemukan sekitar 19,70 persen sapi yang mengalami gangguan reproduksi,†kata Agus dalam Seminar ‘Updating Penyakit Reproduksi dan Penanganan pada Ruminansia Besar’, yang digelar di Auditorium FKH UGM, Kamis (8/3).
Disebutkan Surya bahwa kawin berulang menjadi salah satu penyebab menurunnya kemampuan reproduksi dan produksi susu pada peternakan sapi perah. Kawin berulang adalah suatu keadaan sapi betina yang mengalami kegagalan untuk bunting setelah dikawinkan 3 kali atau lebih pejantan fertil. “Salah satu gangguan reproduksi yang ditandai dengan gejala kawin berulang adalah endometritis. Kejadian endometritis lebih sering terjadi pascapartus (kelahiran) dan sapi-sapi pasca kawin,†katanya.
Menurut Surya, kebersihan kandang dan sapi merupakan prasyarat yang harus dipenuhi agar sapi terhindar dari gangguan reproduksi terutama infeksi. Untuk menghindari kerugian yang lebih lanjut akibat infertilitas diperlukan pemeriksaan secara profesional oleh dokter hewan secara rutin terhadap reproduksi, baik pada sapi menjelang dewasa maupun induk. “Kontrol reproduksi secara disiplin dan teratur sangat diperlukan,†tambahnya.
Pengelola Pendidikan Profesi Dokter Hewan FKH UGM, drh. Agung Budiyanto, M.P., Ph.D., mengatakan asupan nutrisi berpengaruh langsung pada kemampuan reproduksi sapi. Jumlah nutrisi yang mencukupi akan mendorong proses biologis sapi untuk mencapai potensi genetiknya dan mengurangi pengaruh negatif dari lingkungan yang tidak nyaman serta meminimalisasi dampak dari risiko manajemen yang kurang baik. “Kekurangan pakan khususnya untuk daerah tropis merupakan salah satu penyebab kemajiran pada ternak betina,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)