Perkembangan teknologi komunikasi turut mengubah wajah perpustakaan dalam tiga dasawarsa terakhir. Perpustakaan yang dulunya memiliki tugas utama melakukan pengelolaan bahan pustaka telah berubah menjadi sebuah tempat pembelajaran yang memberikan pengalaman dan pembelajaran bagi para pemustakanya. Kini, perpustakaan bukan lagi menjadi tempat yang hanya bisa dikunjungi secara fisik untuk mendapatkan informasi , tetapi juga secara virtual.
Hal tersebut menguak dalam seminar “Libraries: Past, Present and Future†, Kamis (15/3) di University Club (UC) UGM. Dalam kegiatan ini menghadirkan Dady Rachmananta (Pustakawan Utama, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia), Dato Raslin bin Abu Bakar (Kepala Perpustakaan Nasional Malaysia) dan Dr. Djoko Luknanto (Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Gadjah Mada).
Dady Rachmananta, Pustakawan Utama Perpustakaan Nasional merasa optimis akan penciptaan perpustakaan Indonesia yang berbasis teknologi informasi, berwawasan kebangsaan dan relasi global. Terlebih dengan adanya kelahiran Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, memberikan pijakan yang kuat bagi perpustakaan dalam menjalankan perannya dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bermula dari ide pembentukan pusat kebudayaan Indonesia oleh Presiden Soekarno di awal kemerdekaan Republik Indonesia yaitu Istana Merdeka, Monumen Nasional, Museum Nasional, Galeri Nasional, dan Perpustakaan Nasional. “Hal ini menunjukkan pentingnya peran sebuah perpustakaan sebagai bagian dari pembentuk dan penjaga kebudayaan negara tercinta ini,†jelasnya
Hanya saja dalam perkembangannya, dituturkan Dady dalam beberapa dekade stigma negatif masih saja melekat pada perpustakaan sebagai tempat ‘buangan’, pimpinan non pustakawan, minimnya apresiasi bagi pekerjanya dan sumber daya manusia yang kurang mumpuni. Namun kini, seiring lajunya perkembangan teknologi informasi, perpustakaan menjadi sebuah pusat informasi yang bercitra positif dan dikelola secara profesional.
Ketua Pengarah Perpustakaan Nasional Malaysia, Dato Raslin bin Abu Bakar, dalam kesempatan tersebut memaparkan Perpustakaan Nasional Malaysia saat ini gencar membudayakan ilmu dan membaca di masyarakat. Untuk mendukung program tersebut Kerajaan Malaysia mendirikan sekolah informasi dan perpustakaan guna memenuhi kebutuhan pemustaka di 12.358 perpustakaan Malaysia. Selain itu perpustakaan nasional Malaysia juga fokus membangun perpustakaan desa yang terkoneksi dengan internet, melakukan digitalisasi bahan pustaka, serta melakukan monitoring jalannya perpustakaan dan kinerja pustakawan.
Dr. Djoko Luknanto, Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan (P3) UGM menyebutkan bahwa perpustakaan dan pustakawan Indonesia seharusnya mulai memanfaatkan secara lebih progresif teknologi informasi dan komunikasi. Hal tersebut dilakukan agar dapat meraba masa depan perpustakaan dan meraih kesetaraan kemajuan dengan negara lain.
Djoko Luknanto mengatakan bahwa kemitraan menjadi ciri dari perpustakaan masa kini dan masa depan untuk dapat menyediakan seluas-luasnya informasi yang dibutuhkan oleh pemustakanya. Teknologi informasi dan komunikasi menjadi penghubung bagi kemitraan global dan selayaknya menjadi bagian kerja sebuah perpustakaan dan diri seorang pustakawan. “Jadi, penting untuk melakukan perubahan besar di dunia perpustkaaan secara bersama-sama, namun penting bagi pustakawan dan perpustakaan untuk memulai dari hal-hal kecil sebagai wujud sumbangsih pada bangsa dan negara Indonesia,†pungkasnya. (Humas UGM/Ika)