YOGYAKARTA – Struktur Agraria di Indonesia berada dalam posisi yang timpang. Pasalnya, sebanyak 0,2 persen penduduk menguasai hampir 56 persen tanah yang ada. Mayoritas dari aset yang dikuasai oleh segelintir orang tersebut berbentuk kebun, tambang, dan tambak. Sebaliknya akses rakyat atas hak kepemilikan tanah justru menunjukkan kebalikannya, karena sekitar 84 persen petani menguasai tanah pertanian kurang dari 1 hektar. Bahkan mayoritas masyarakat perkotaan hanya menguasai tanah kurang dari 200 meter persegi. Hal itu mengemuka dalam Diskusi Uji Sahih RUU Hak Atas Tanah (HAT) yang berlangsung di fakultas hukum, Selasa (20/3). Hasil kerjasama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dengan Fakultas Hukum UGM.
Anggota DPD RI Prov DIY, Drs. Hafidz Asrom, M.M., dalam sambutannya mengatakan ketimpangan terhadap hak atas kepemilikan tanah menimbulkan benih konflik agraria yang tak pernah kunjung selesai. Hal itu mendorong DPD RI menyusun draft RUU Hak Atas Tanah untuk mengatur hak kepemilikan tanah berkeadilan. “Draft RUU ini telah rampung, namun kita melakukan uji materi RUU hak atas tanah ini sebagai media sosialisasi dan menggali input dari publik tentang hasil legislasi DPD RI,†kata Hafidz Asrom.
Lebih jauh dia menjelaskan RUU HAT sebagai bagian pengejewantahan dari UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) karena dalam prakteknya UUPA belum mengakomodasi hak tanah ulayat dan batas maksimum hak atas tanah untuk perorangan dan badan hukum.
Menurutnya, RUU HAT diharapkan mampu menjawab pengaturan hak atas tanah secara berkeadilan dan kesetaraan didepan hukum. Namun perlu juga dirumuskan secara tegas penataan hak atas tanah di tingkat pemerintah dan komunitas adat dalam mengatur tanah ulayat.â€Patut disadari RUU ini tidak sepenuhnya menanganai konflik agraria di masa lalu, sehingga suatu saat perlu RUU konflik agraria,†katanya.
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dalam pidato sambutannya yang dibacakan Kepala Biro Pemerintah Provinsi DIY, Endar Susilowati, mengatakan tanah merupakan sumber produksi yang bisa mensejahterahkan pemiliknya namun juga menimbulkan konflik akibat tinginya tingkat kebutuhan dengan ketersediaan tanah yang masih terbatas. Sementara perlindungan hukum terhadap masyarakat kecil dan masyarakat adat belum juga memadai. “Ketidakpastian hak atas tanah menjadi sumber konflik dan sengketa yang tak kunjung henti. Sehingga perlu perumusan sistem hukum yang matang untuk mencari solusi terhadap kasus pertanahan yang tersebar di tanah air,†kata Sultan.
Sementara pakar Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM, Dr. Any Andjarwati, mempertanyakan tingkat urgensi RUU Hak Atas Tanah yang diusulkan DPD. Menurutnya sistem hukum hak atas tanah merupakan bagian dari sub-sistem hukum pertanahan. Sedangkan sistem hukum pertanahan merupakan sub sistem dari hukum agraria.
Menurutnya, justru yang perlu dilakukan adalah melakukan amandemen Undang-undang Penataan Ruang (UUPR) untuk merekonstruksi kembali sistem pendaftaran tanah dengan sistem publikasi positif sehingga dapat menjamin kepastian hukum status tanah, baik tanah negara, tanah ulayat maupun tanah perorangan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)