
Upaya Kofi Annan mengunjungi dan berdiskusi langsung dengan Presiden Bashar Al-Assad, belum mampu mengakhiri krisis di Suriah. Bahkan kunjungan misi damai tersebut hanya menghasilkan enam poin penting bagi upaya pertolongan kemanusiaan sementara. Keenam poin tersebut diantaranya mengakhiri kekerasan, membuka jalan bagi bantuan kemanusiaan bagi rakyat Suriah dan mencari Solusi Politik yang sesuai dengan aspirasi rakyat Suriah. “Saat Kofi Annan berbicara dengan rakyat Suriah, sesungguhnya muncul keinginan dari mereka untuk berdamai. Hanya saja, mereka merasa kesulitan ketika harus bersepakat dengan para pengambil keputusan,” papar Dra. Ilien Halina, M.Si, Rabu (21/3).
Membahas topik Dewan Keamanan PBB dan Kemelut Suriah pada diskusi bulanan yang digelar Institute of International Studies Departement of International Relations, Fisipol UGM, Ilien Halina mengungkapkan konflik hampir setahun menuntut Presiden Bashar Al-Assad mundur masih terus bergolak. Cara-cara represif Presiden Bashar dalam mempertahankan kekuasaan telah menelan korban tewas sekitar 8000 orang demonstran. “Terlepas pertanyaan apakah situasi konflik ini dicipta atau tidak oleh Amerika, gejolak politik masih terus berlangsung hingga kini,” ungkapnya.
Sayang Dewan Keamanan PBB yang diharapkan menyelesaikan kemelut seperti kehilangan fungsi. Seperti perang di Irak, Afganistan, Israel-Palestina dan konflik-konflik lainnya, DK-PBB cenderung sebagai alat bantu negara besar seperti Amerika dibanding membawa misi perdamaian internasional. “Sulit dibantah Amerika membawa DK-PBB untuk bersidang dengan tujuan memenangkan kepentingannya dengan menyusun agenda utama, yaitu sebuah resolusi untuk menurunkan Presiden Bashar Al-Assad,” urai Ilien.
Situasi tidak menentu di Suriah pun telah mengundang pihak-pihak asing masuk ke arena konflik. Di satu sisi Amerika, negara-negara Liga Arab dan Uni Eropa, di sisi lain Rusia, Cina dan Iran yang mulai mendukung Presiden Bashar Al-Assad.
Ilien melihat Rusia dan Cina memiliki kepentingan strategis di Suriah. Sehingga dapat dimengerti kenapa DK-PBB gagal membuat keputusan dalam sidangnya pada tanggal 4 Februari 2012 lalu akibat di Veto Rusia dan Cina. Rusia disinyalir memiliki pangkalan militer dan menjadikan Suriah sebagai pasar potensial untuk perdagangan senjata. Sedangkan Cina memiliki kepentingan ekonomi dan menjadikan suriah pasar untuk produk-produknya.
Karenanya pemecahan konflik Suriah semakin tidak menentu. Sementara perjuangan banyak negara yang “merasa berkepentingan” dalam memecahkan persoalan Suriah melalui DK PBB juga menemui jalan buntu. Amerika tentu akan berpikir ulang bila memaksa DK-PBB mengeluarkan kebijakan untuk melakukan operasi militer, sebab Suriah terkini mendapat dukungan Iran. “Ada Rusia, Cina, dan kita tahu nuklir milik Iran tidak hanya untuk kebutuhan energi, namun juga untuk persenjataan. Saya kira Amerika akan mempertimbangkan masak-masak jika akan melakukan operasi militer,” jelas peneliti pada Program on Diplomacy and Foreign Policy (DIFO).(Humas UGM/ Agung)