YOGYAKARTA – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono diminta segera merealisasikan janji kampanye untuk menyediakan 8 juta hektar tanah untuk rakyat miskin. Selain itu, Presiden diminta mencabut Kepres No. 10 tahun 2001 yang menunda kewenangan pemerintah daerah mengurusi bidang pertanahan. Hal itu mengemuka dalam simposium nasional Reforma Agraria, Otonomi Daerah dan Kedaulatan Ekonomi Bangsa yang berlangsung di Grha Sabha Pramana, Selasa (27/3). Hasil Kerjasama UGM, Forum Rektor Indonesia, Universitas Haluoleo, dan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Prof. Dr. Ryass Rasyid, MA., menegaskan dirinya akan mendesak presiden untuk merealisasikan usulan tersebut terutama mencabut kepres penundaan pelaksanaan otonomi daerah di bidang pertanahan. Sudah semestinya pengelolaan pertanahan menjadi kewenangan daerah. Namun sejak munculnya kepres N0 10 tahun 2001 yang ditandatangni Abdurahman Wahid, menjadikan pemerintah daerah sampai saat ini tidak memiliki kewenangan untuk mengurusi pertanahan. “Tertunda hingga hari ini, padahal sudah ganti dua kali presiden,†katanya.
Dia menambahkan, adanya kewenangan administrasi pertanahan untuk dikelola oleh pemerintah daerah ini untuk mendorong kemajuan masyarakat.â€Tidak semua daerah punya tambang dan hutan, namun yang pasti mereka punya tanah meski gersang, tanah ini bisa digunakan bargaining power untuk investasi,†katanya.
Dia juga menilai janji kampanye 8 juta hektar tanah untuk rakyat miskin juga belum direalisasikan oleh pemerintah. “Delapan juta hektar ini bukan jumlah yang sedikit. Tapi, yang tahu kondisi tanah dan mengidentifikasi justru pemda, bukan pemerintah pusat,†imbuhnya.
Sehubungan adanya desakan mengamandemen Undang-undang Pokok Agraria, Ryas Rasyid tidak sependapat karena yang dibutuhkan justru membuat peraturan baru untuk merealisasikan peggunaan tanah untuk sebesar-besarnya demi kepentingan rakyat. â€Jadi, reformasi agraria dalam konteks otononi daerah mencegah salah urus pertanahan karena begitu luasnya wilayah yang dikelola,†katanya.
Ketua Umum Asosiasi Pemerintahan Kebuapaten Seluruh Indonesia (APKASI), Ir. Isran Noor, M.Si, menhatakan tuntutan peran optimal pemerintah daerah untuk mengurusi admnistrasi pertanahan semakin menguat karena makin sering munculnya konflik-konflik agraria. Sehingga diperlukan peraturam pelaksnaan yang mengatur kewenagan pemerintah kabupaten/kota yang berhadapan angsung dengan maslaah konflik hak-ahak atas tanah.
Pengamat ekonomi pertanian UGM Prof. Dr. Ir. Masyhuri, menyebutkan ada 163 konflik agraria selama tahun 2011. Jumlah ini meningkat tajam dibanding tahun 2010 yang mencapai 106 kasus. Menurutnya, konflik tersebut terjadi akibat tidak adanya kepastian hukum karena terdapat dualisme peraturan, yakni hukum nasional dan hukum adat. Disamping itu, adanya ketimpangan dalam penguasaan tanah. “Petani rata-rata hanya mengolah lahan kurang dari setengah hektar, seharusnya minimal 2 hektar seperti yang diamanatkan Undang-undang,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)