Remaja Indonesia merupakan pelaku aktif dari video porno amatir. Maraknya pemakaian hand phone dan perkembangan pesat teknologi media komunikasi diduga menjadi faktor pendorong fenomena ini.
Hasil pengamatan terhadap 100 video porno, berdurasi pendek 9-10 menit, sebanyak 90 persen pelaku merupakan anak muda. Sebanyak 76,3 persen memperlihatkan kegiatan sexual dan 91,4 persen pembuatan film dilakukan di ruangan tertutup. “Kebanyakan mereka seneng memproduksi film di hotel atau tempat kos,” ujar Basilica Dyah Putranti, peneliti Pusat Studi Kependudukan & Kebijakan UGM, Selasa (27/3).
Ia menjelaskan sedikit relasi yang menunjukkan keterpaksaan, karena hampir 64 persen film memperlihatkan perempuan berinisiatif saat berhubungan sexual. Sementara 71 persen gambar film memperlihatkan hubungan sexual anak muda tanpa sehelai benang. “Jadi benar-benar terlibat hubungan sexual. Aktivitas sexual lain yang bisa dibaca dari video amatir ini, 51,6 persen intercourse, 11 persen oral sex, lain-lain potongan adegan ciuman, mandi , striptise dan beberapa pelaku berseragam,” jelasnya.
Berbicara pada diskusi publik bertema “Remaja, Media dan Pornografi” yang diselenggarakan Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan UGM sekaligus peringatan hari Wanita Sedunia, Basilica mengaku metodologi penelitian yang dilakukan memang sedikit memiliki kelemahan. Meski begitu ia meyakini bahwa dari 100 video porno yang dianalisis mengandung banyak informasi. Dari analisis tidak ditemukan aktivitas homoseksual, namun terdapat aktivitas sexual lesbian. Sementara untuk perempuan dengan penampilan sexi dengan bikini tidak terlalu banyak ditemui. “Saya mencarinya di warnet-warnet, dan ternyata sudah ada folder-folder yang tersimpan film-film porno tersebut. Saya mengambil secara random, dan 79,6 persen menampilkan sosok tubuh perempuan,” tambahnya.
Rina Widarsih, Manager Divisi Pendampingan Rifka Annisa merasa prihatin. Dia berpandangan perkembangan teknologi komunikasi memicu meningkatnya jumlah pengakses pornografi dikalangan remaja sehingga berakibat terjadi tindak perkosaan dan hubungan sexual di kalangan remaja. “Internet, hand phone menjadi perantara dan menjadi tools terjadinya hubungan sex, seperti maraknya kasus perkosaan remaja di Gunung Kidul melalui hand phone,” ujarnya di Gedung Masri Singarimbun PSKK UGM.
Semua terjadi, kata Rina, dimulai dengan berkenalan melalui media online atau hand phone. Hubungan tersebut berlanjut saling berkomunikasi, kopi darat dan terjadilah tindak hubungan sexual. “Sepertinya semua telah terkondisi, sehingga ketika bertemu mereka tinggal melakukan action saja. Itu yang terjadi pada remaja di GunungKidul dan Bantul. Kalau di Kulon Progo saya belum banyak menangkap fenomena ini,” ungkapnya.
Rina semakin prihatin manakala usia pelaku cenderung masih tergolong anak-anak, sekitar 7 – 10 tahun. Mereka telah melakukan hubungan sexual, karena pengaruh video porno di rumah atau hand phone milik orang tua. “Inilah yang mempercepat anak-anak memiliki pengalaman-pengalaman seperti itu,” katanya.
Wing Wahyu Winarno menolak jika semua harus menyalahkan media. Sebagai pelaku media, dia menjelaskan sex adalah kebutuhan natural manusia normal, hanya saja hal itu kini ditunjang adanya media komunikasi. “Ya mengatasi tidak harus dengan UU Pornografi, sebab sudah ada undang-undang yang lain. Cukup dengan menegakkan aturan yang ada. Meski cukup sulit membatasi akses pornografi, tapi semua itu bisa dimulai dari keluarga, keluarga yang melek teknologi,’ tuturnya. (Humas UGM/ Agung)