YOGYAKARTA-Munculnya UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum diindikasikan tidak sejalan dengan UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagai peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan operasi industri minyak bumi. Akibatnya, keberadaan UU No.2/2012 ini berpotensi menghalangi perkembangan industri minyak bumi. Hal ini ditegaskan oleh Presiden Direktur Pertamina EP, Dr.Syamsu Alam saat berbicara pada Seminar Nasional Menjaga Keberlanjutan Pasokan Energi Untuk Indonesia di Fakultas Hukum UGM, Rabu (28/3).
Syamsu Alam menambahkan selama ini Pertamina sudah banyak menghadapi persoalan teknis maupun non teknis di lapangan. Ia mencontohkan beberapa tantangan yang dihadapi seperti penurunan produksi alamiah yang rata-rata mencapai 18%, kadar air yang tinggi dibanding kadar minyak, perijinan instansi hingga masalah tumpang tindih lahan maupun pungutan. Dengan munculnya UU No. 2 / 2012, tambah Syamsu, dikhawatirkan akan semakin menambah persoalan khususnya dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi.
“Sejauh ini kita sudah banyak menghadapi persoalan baik teknis maupun non teknis di lapangan. Dengan adanya undang-undang pengadaan tanah ini dikhawatirkan akan semakin mempersulit proses eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi,â€papar Syamsu.
Syamsu memberikan gambaran perbandingan peraturan perundang-undangan antara UU Migas dengan UU Pengadaan Tanah. Jika dalam UU Migas sumber daya alam dikuasai oleh negara, maka di dalam UU Pengadaan Tanah sumber daya alam bisa dikuasai perseorangan. Selain itu, untuk biaya pengadaan lahan di dalam UU Migas menjadi tanggungjawab dari KKKS melalui cost recovery BPM Migas. Sementara dalam UU Pengadaan Tanah biaya dibebankan kepada negara.
“Bisa dibayangkan kalau kita akan melakukan eksplorasi sementara tanahnya milik perseorangan maka akan lebih sulit. Belum lagi jika ini dikaitkan dengan masalah kepemilikan saham yang bisa dimiliki banyak orang ,â€tegasnya.
Dari pengamatannya proses perijinan sebagaimana diatur dalam undang-undang dalam pengadaan dan pembebasan tanah memerlukan tata waktu yang panjang. Pengadaan tanah sesuai undang-undang ini memerlukan waktu 458 hari kerja (lebih dari 1 tahun). Ijin pinjam pakai kawasan hutan memerlukan waktu pengurusan 215 hari kerja sedangkan untuk AMDAL bisa mencapai 172 hari kerja.
Dengan kondisi tersebut maka Syamsu memperkirakan program percepatan penambahan cadangan dan produksi migas akan mengalami hambatan karena adanya regulasi yang menerapkan mekanisme dengan rentang waktu pengurusan perijinan dan pengadaan tanah yang lama.
“Maka perlu dibuat aturan lebih khusus untuk pengadaan tanah di bidang hulu migas baik melalui PERPU maupun peraturan perundang-undangan lainnya,â€jelas Syamsu.
Sementara itu Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM, Prof.Dr. Maria SW Soemardjono, S.H., MCL, MPA mengingatkan agar pembangunan hukum melalui pembentukan undang-undang tidak melanggar prinsip “hukum sebagai sistemâ€, sehingga perlu ketegasan sikap terhadap UU No.2/2012.
Maria memberikan pilihan, pertama, UU No.2/2012 dirombak; artinya kembali ke sistem perolehan tanah yang ada. Bila yang dikehendaki pelepasan hak dengan cara musyawarah, maka bila ada pihak yang berkeberatan tetap dibuka acara pencabutan hak atas tanah sesuai UU No.20/1961. Kedua, UU No.2/2012 dipertahankan, tetapi UU No.20/1961 dan Pasal 18 UUPA harus dicabut dengan tegas dan dinyatakan tidak berlaku.
“Apapun pilihannya, pasti ada risiko yang harus dihadapi. Kita tegakkan pembangunan hukum sesuai sistem yang ada, dan bukan justru melanggar sistem demi tujuan jangka pendek,â€tegas Maria (Humas UGM/Satria AN)