Perubahan penggunaan lahan hutan yang dijadikan tegai di kawasan hutan dengan kemiringan lereng agak curam, sangat curam dan intensitas hujan tinggi hingga sangat tinggi, ternyata berdampak negatif terhadap pendapatan masyarakat. Rendahnya tingkat pendapatan ini tentu menjadi penderitaan bagi masyarakat.
Menurut Ir. Sahid, M.Si, kondisi ini hampir menyebar di seluruh desa-desa hutan di dekat hutan lindung. Penderitaan yang berkepanjangan inilah yang menyentuh hati masyarakat, sehingga timbul penyesalan dan mnginginkan bagaimana cara mengembalikan fungsi hutan seperti semula. “Masyarakat pun pada akhirnya rela, bilai tegai yang telah ditanami dengan tanaman semusim untuk direboisasi kembali,” katanya, di Auditorium Merapi Gedung A Fakultas Geografi UGM, Sabtu (31/3).
Menempuh ujian terbuka program doktor UGM Bidang Ilmu Geografi, Sahid mengatakan partisipasi masyarakat dan semua pihak terkait pembangunan sumberdaya hutan menjadi sangat penting. Partisipasi tidak lagi secara individu, namun menuntut bentuk “collective action” (tindakan bersama) dalam pembangunan SDH. Oleh karena itu partisipasi yang dimaksud merupakan gerakan semua masyarakat yang terhimpun dalam satu kelompok pendukung dan pelestari SDH yang berkelanjutan. “Penting kiranya upaya-upaya pemberdayaan masyarakat yang berada di dalam organisasi kelompok tani, bahwa pemberdayaan akan mencakup pemberdayan politik, ekonomi dan pemberdayaan kelembagaan,” katanya.
Secara politik pemberdayaan alam sudah sangat jelas, bahwa peraturan negara sangat kuat dan berbagai implikasi pengaturan dan pengurusan sumberdaya alam hutan telah diatur dengan undang-undang. Bahwa pengaruh negara sangat terasa dalam pengelolaan sumberdaya alam hutan (SDH) yang jauh dari demokrasi dan keadilan masyarakat. Sehingga berakibat masyarakat sekitar hutan masuk kategori miskin secara struktural karena penguasaan aset lahan yang sangat minim. “Untuk itu sangat diperlukan perubahan paradigma pemikiran pembangunan SDH dari pendekatan state based, pendekatan kekuasaan negara menjadi pendekatan community based, pendekatan kemasyarakatan,” papar Sahid yang didampingi promotor Prof. Dr. Totok Gunawan, M.S dan ko-promotor Prof. Dr. Hartono, DEA., DESS serta Prof. Dr. Ir. Moch Sambas S., M.Sc.
Mempertahankan desertasi “Model Spasial Ekologis Pengelolaan Hutan Lindung Berbasis Pemberdayaan Masyarakat, Kasus Leren Selatan Gunungapi Slamet, Propinsi Jawa Tengah”, dosen Fakultas Kehutanan UGM berpendapat perlu menyusun model spasial ekologi pengelolaan hutan lindung berbasis pemberdayaan masyarakat. Prinsip yang tetap mengacu pada peraturan pemerintah dan memperbolehkan masyarakat memanfaatkan hutan lindung dengan selalu menjaga fungsi hutan lindung secara optimal berdasar geofisik secara spasial, persepsi, partisipasi dan kearifan lokal. “Semua itu tentu ditunjang dengan potensi yang dimiliki masyarakat, sehingga dapat disusun model spasial ekologis pengelolaan hutan lindung berbasis pemberdayaan masyarakat. Fungsi hutan lindung dapat secara optimal, namun kesejahteraan masyarakat juga meningkat,” paparnya lagi.
Menangkap Kasus di lereng selatan Gunungapi, Slamet, Jawa Tengah, Sahid menjelaskan hutan lindung di kawasan ini sudah terjadi tiga kali penggunaan lahan. Terakhir antara tahun 2007-2009, luas areal hutan primer yang dimanfaatkan masyarakat mencapai 5.227 ha dan hutan sekunder 1.031 ha. Akibatnya terjadi perubahan lahan di kawasan hutan dengan kemiringan lereng agak curam hingga sangat curam dengan curah hujan sangat tinggi (50,70-90,80 mm/hari) hingga sangat tinggi (90,80-120,70 mm/hari) tentu dapat berdampak negatif dan positif.
Dampak negatif menjadikan naiknya limpasan permukaan dan ideks kekeringan, vegetasi penutup lahan berubah dan menurunnnya pendapat masyarakat. Sementara sisi positif menggugah kesadaran masyarakat untuk bergabung dalam kelompok tani serta timbul persepsi, partisipasi dan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan. “Karenanya dalam rangka mengembalikan fungsi hutan lindung dan meningkatkan kesejahteraan, masyarakat hanya melakukan tiga kegiatan, mencari rencek kayu bakar, mencri daun pembungkus serta melakukan penanaman tanaman tumpangsari di hutan sekunder secara sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat, dengan aturan tidak boleh mengganggu komunitas vegetasi di dalamnya,” jelas Sahid yang dinyatakan lulus predikat cumlaude dan menjadi doktor 1603 yang diluluskan UGM. (Humas UGM/ Agung