GUNUNGKIDUL – Daerah perbukitan Kabupaten Gunung Kidul umumnya tidak pernah luput dari persoalan sulitnya ketersediaan air. Jangankan untuk mandi, untuk minum pun harus menunggu kiriman air pemerintah atau penyumbang luar daerah. Ditengah kondisi masyarakat yang umumnya hidup memprihatinkan harus ditambah beban untuk mengeluarkann biaya hidup lebih besar sekedar untuk mencukupi kebutuhan air.
Di dusun Sureng, desa Purwodadi, kecamatan Tepus, Gunung kidul, misalnya, merupakan daerah yang dulu hingga kini masih kesulitan air. Setiap warga harus berjalan kaki sepanjang 2,5 kilometer untuk mandi dan mengangkut air buat minum. Saban hari, pihak pemerintah daerah setempat membangun instalasi pompa air di sumber mata air tersebut. Untuk menaikkan air tersebut, digunakan mesin diesel untuk menghidupkan pompa air agar bisa mengairi air ke bak penampung yang dibangun di atas bukit. “Baru akhir tahun lalu air sudah mengalir ke masyarakat lewat bak penampung,†kata kepala dusun Suratman ditemui disela-sela menerima kunjungan rombongan tim peneliti UGM dan Ristek meninjau lokasi mata air di dusun Sureng, Gunung Kidul, Jumat (6/4).
Karena operasional menghidupkan pompa air ini dikelola secara swadaya, perangkat dusun menarik iuran Rp 1.000 per 50 liter air bagi penduduk yang mengambil air di bak penampung. Dana tersebut digunakan pengurus untuk membeli bahan bakar genset agar dua pompa bisa dinyalakan tiap hari. “Sebenarnya harga membeli air ini sama saja seperti membeli air dari mobil tangki,†katanya.
Wakil Bupati Gunung Kidul, Imawan Wahyudi, mengakui bahwa air menjadi permasalahan utama yang dihadapi oleh sebagian masyarakat khususnya yang tinggal di area perbukitan. Bahkan masyarakat harus mengeluarkan biaya ekstra untuk memenuhi kebutuhan air. Akibatnya, tingkat kesejahteraan masyarakat pun tidak pernah meningkat. “Banyak sumber air yang belum diangkat karena pemkab keterbatasan anggaran. Sudah banyak yang kita lakukan tapi juga banyak yang belum, sehingga banyak desa yang swadaya sendiri,†katanya.
Menanggapi kondisi tersebut,Asisten Deputi Iptek Masyarakat, kemenristek, Momon Sadiyatmo, mengatakan Ristek menggandeng UGM untuk mengatasi persoalan air tersebut melalui program sistem inovasi daerah (SIDA), yakni menerapkan diseminasi teknologi berdasarkan kebutuhan masyarakat. “Dalam SIDA, teknologi yang digunakan sudah terbukti keandalannya dan dapat diterapkan di lokasi sesuai kondisi,†katanya.
Dr. Ahmad Agus Setyawan, salah satu peneliti UGM menegaskan pihaknya akan membantu mengatasi persoalan mahalnya biaya pemenuhan kebutuhan air yang dihadapi masyarakat Tepus. Bahkan tim peneliti bersama dengan mahasiswa program KKN PPM UGM mencoba menerapkan teknologi pengangkatan air dengan sistem pompa air menggunakan tenaga surya. “Teknologi ini bisa digunakan di daerah terpencil. Mudah dalam instalasi dan perawatan, dan sudah banyak diterapkan di dunia,†katanya.
Teknologi pompa air tenaga surya ini selain ramah lingkungan, biaya operasional cukup rendah namun lebih dari itu mampu memasyarakatkan teknologi di kalangan masyarakat terpencil. Berdasarkan hasil pengamatan Agus Setyawan, di dusun sureng tingkat radiasi matahari berkisar 5,66 kWh/m2/hari. Sedangkan letak sumber air berada 2 kilometer dari jaringan istrik terdekat. Adapun pengangkatan air lewat pompa diesel hanya mampu melayani 36,5% dari seluruh kebutuhan air yang diperlukan 952 Kepala Keluarga. “Biaya operasional pompa diesel cukup besar Rp 80 ribu per hari, kita harapkan dengan panel surya tidak ada biaya yang dibebabkan ke warga,†ungkapnya.
Setelah meninjau lokasi, rencananya UGM dan Ristek dalam waktu dekat memasang instalasi pompa air menggunakan energi panel surya. Sedangkan pemasangan peralatan dan distribusi pipa ke rumah penduduk akan melibatkan mahasiswa KKN PPM UGM beserta masyarakat. (Humas UGM/Gusti Grehenson)