Masalah disintermediasi keuangan sektor perbankan masih terjadi pasca krisis moneter 1997 di Indonesia. Bahwa lambatnya pemulihan disintermediasi keuangan disebabkan lambatnya proses penyesuaian dalam permintaan dan penawaran kredit bank dalam menuju keseimbangan, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama bagi permintaan dan penawaran kredit bank untuk merasakan pengaruh dari variabel-variabel penentu permintaan dan penawaran kredit bank.
Demikian kesimpulan Siti Aisyah Tri Rahayu, SE., M.Si saat mempertahankan desertasi “Perilaku Pasar Kredit Bank Pasca Krisis Moneter di Indonesia (2002.1-2007.4): Model Panel Data” pada ujian terbuka program doktor FEB UGM, Senin (9/4).
Ia menjelaskan disintermediasi yang terjadi disebabkan karena perilaku pelaku di kedua sektor, yaitu bank dan pelaku usaha masih menghindari risiko (risk averse). “Terdapat perilaku bank yang berbeda dalam model permintaan dan penawaran kredit bank di pasar kredit bank di Indonesia,” jelas Siti Aisyah didampingi promotor Prof. Dr. Insukindro, MA dan ko-promotor Dr. Bagus Santoso, M.Soc., Sc serta Prof. Dr. Nopirin, MA.
Memanfaatkan data individual bank triwulanan (2002.01-2007.04) untuk mengestimasi model permintaan dan penawaran kredit bank dan menggunakan Model Regresi Panel Data Simultan Dinamik serta metode Seemingly Unreleated Regression (SURE), Siti secara spesifik berkesimpulan hasil analisis permintaan kredit bank menunjukkan bahwa suku bunga kredit memiliki elastisitas harga (suku bunga kredit) yang inelastis dalam jangka pendek untuk semua kelompok bank. Sementara dalam jangka panjang, tingkat inelastisitas suku bunga kredit semakin berkurang, bahkan menjadi sangat elastis untuk BUSN Non Devisa dan bank campuran.Sedangkan kurs meningkatkan permintaan kredit bank pada semua kelompok bank dalam jangka panjang.
Variabel pendapatan, menurut Siti Aisyah, meningkatkan permintaan kredit untuk bank BUSN Non Devisa, BPD dan Bank Asing serta menurunkan permintaan kredit pada Bank Persero, BUSN Devisa dan Bank campuran. “Elastisitas pendapatan yang positif pada tiga bank pertama, menunjukkan bahwa kredit bank tersebut dinilai sebagai barang normal, sementara mewah bagi debitur,” tutur perempuan kelahiran Cilacap, 27 September 1968.
Dari estimasi regresi penawaran kredit bank ditemukan bahwa meningkatnya suku bunga kredit semakin meningkatkan jumlah kredit yang ditawarkan oleh bank, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (BUSN Non devisa dan BPD). Sementara untuk bank persero, BUSN Devisa, bank campuran, dan bank asing pengaruh meningkatnya suku bunga kredit justru menurunkan jumlah kredit yang ditawarkan.
Bila dilihat dari elastisitas penawaran memperlihatkan suku bunga kredit pada BUSN Non Devisa dan BPD memiliki elastisitas yang lebih besar dari satu (elastis). “Ini berarti penawaran kredit bank untuk kedua bank sangat responsif terhadap perubahan suku bunga kredit bank,” papar Siti, pengajar di Fakultas Ekonomi UNS yang dinyatakan lulus dan menjadi doktor ke-116 Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. (Humas UGM/ Agung)