YOGYAKARTA-Pemerintah pusat dinilai mengabaikan fakta bahwa kawasan hutan konservasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Lampung Barat sebenarnya sudah sejak lama ditempati oleh masyarakat lokal sebelum kawasan itu ditetapkan menjadi kawasan hutan konservasi TNBBS. Pemerintah terlalu memaksakan kehendaknya dengan menjalankan rencana hutan konservasi secara mutlak berdasarkan orientasi high modernism, serta mengabaikan fakta bahwa tidak semua masyarakat Atar Lebar yang ada di kawasan hutan konservasi TNBBS bersikap ekspansionis.
“Jadi persoalan hutan di kawasan Atar Lebar ini khususnya pada persoalan keadilan, dan kegagalan kebijakan pengelolaan kawasan hutan konservasi,â€terang H.Deddy Winarwan, SSTP., M.Si pada ujian terbuka program doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, Sabtu (14/4).
Lebih jauh Deddy mengatakan bahwa kemiskinan yang dialami oleh masyarakat Atar Lebar merupakan gejala yang sangat endemik, yang diperparah oleh gejala yang sangat struktural. Dalam kondisi seperti itu, Pemerintah Pusat justru melakukan penekanan struktural dengan mengusir mereka dari wilayah pemukiman yang sudah lama mereka huni. Hal itu, kata Deddy, memperburuk kondisi kemiskinan masyarakat karena tekanan struktural dari pemerintah telah membawa dampak yang jauh lebih parah bagi masyarakat.
“Pemerintah satu sisi belum mampu mengadopsi kepentingan masyarakat, di sisi lain terus melakukan pengusiran masyarakat lokal selama tiga dekade terakhir sejak tahun 1980-an. Kondisi ini akhirnya memicu timbulnya perlawana masyarakat terhadap negara,â€ujar pria kelahiran Kotabumi, 3 Februari 1978 itu.
Dalam disertasinya yang berjudul Kebijakan Pengelolaan Hutan, Kemiskinan Struktural dan Perlawanan Masyarakat Desa Hutan di Provinsi Lampung itu Deddy menegaskan bahwa perlawanan yang dilakukan masyarakat Atar Lebar disebabkan proses politik, ekonomi dan sosial yang melucuti akses mereka terhadap lahan sebagai modal utama petani, dan pelucutan itu disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang belum mampu mengadopsi kepentingan masyarakat lokal. Perlawanan sosial menjadi makin keras terutama ketika masyarakat tahu bahwa respon pemerintah selalu negative, dengan tidak memberikan toleransi terhadap kehadiran mereka di kawasan hutan konservasi TNBBS.
“Temuan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat besar kemungkinan akan selalu bersikukuh dengan pandangan bahwa kawasan itu bisa mereka kelola, sebagaimana bersikukuhnya negara dalam asumsi bahwa setiap kawasan hutan yang sudah diklaim pemerintah tidak boleh dikelola oleh masyarakat,â€jelas Deddy yang pernah menjabat sebagai Kasubbag Kepegawaian dan Keuangan pada Bagian umum Setdakab Tulang Bawang itu.
Dengan melihat kondisi di lapangan tersebut, maka Deddy mengusulkan sebuah solusi yaitu penerapan kebijakan deliberative kepada masyarakat melalui pemberdayaan (empowerment) masyarakat miskin di sekitar hutan dan pembentukan model desa konservasi. Dengan model itu, diharapkan dapat memberikan insentif bagi perekonomian masyarakat marjinal di sekitar hutan serta mendukung pelestarian ekosistem hutan.
“Jika sudah tercipta model desa konservasi dan suasana interaktif, maka tugas masyarakat lokal di desa konservasi adalah secara konsisten menerapkan tradisi pengetahuan lokal, agar ekosistem di kawasan hutan konservasi TNBBS tetap lestari dan eksistensi harmonis mereka dengan pemerintah di wilayah desa konservasi dinamis dan berkelanjutan,â€pungkas Deddy yang lulus dengan hasil cum laude ini (Humas UGM/Satria AN)