YOGYAKARTA – Sedikitnya 12 juta perusahaan dan 30 juta wajib pajak (WP) kini masih menjadi pengemplang pajak. Akibatnya, negara dirugikan triliunan rupiah. Menurut Dirjen Pajak, Fuad Rahmany, alasan para pengemplang pajak ini untuk tidak membayar pajak sangat tidak masuk akal, karena masih menganggap pajak yang mereka bayarkan akan dikorupsi oleh petugas pajak, seperti halnya kasus Gayus dan Dhana. “Isu ini dimanfaatkan oleh wajib pajak. Padahal selama membayar pajak tidak lewat petugas pajak, maka tidak akan ada dana yang dikorupsi karena langsung masuk ke rekening kas Negara,†kata Fuad Rahmany dalam seminar ‘Dinamika Perpajakan Nasional:Idealisme dan Realita’ yang berlangsung di Gedung Grha Sabha Pramana, kamis (19/4). Ikut hadir sebagai narasumber pengamat politik Prof. Dr. Purwo Santoso, MA, Ekonom Prof. Dr. Mudrajad Kuncoro, MBA., dan pakar Hukum Pidana Prof. Dr. Eddy Hiarej.
Fuad Rahmany mengakui mencuatnya kasus Gayus dan Dhana menyebabkan citra Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kian merosot. “Sampai-sampai kantor DJP itu disebut kantornya Gayus,†kesalnya.
Padahal menurut Fuad, Gayus dan Dhana merupakan oknum yang bermain mata dengan para pengusaha pembayar pajak. Sebab, ada 32 ribu petugas pajak yang masih memiliki idealisme dan mengedepankan kejujuran. “Di pajak itu ada 32 ribu orang petugas pajak, sebagian besar masih muda-muda dan rata-rata umur 30-an. Mereka digoda terus (pembayar pajak). Seperti gayus dan Dhana itu hanya sebagian kecil,†katanya.
Dia menyesalkan bahwa proses hukum terhadap kasus suap menyuap pajak ini justru yang dikorbankan adalah petugas pajak. Seharusnya pemberi suap diberlakukan hal yang sama. “Jika ingin menghabiskan mafia perpajakan, yang menerima dan memberi suap harus diungkapkan semua,†tandasnya.
Mudrajad Kuncoro menilai hasil penerimaan pajak sebenarnya tidak banyak menopang perekonomian nasional. Dia menyebutkan dana anggaran APBN dan APBD hanya berpengaruh 7 persen terhadap perekonomi nasional. “Ekonomi kita justru ditopang konsumsi dan investasi,†ungkapnya.
Adapun dana anggaran yang masuk APBD dan APBN yang sebagian besar diambil dari pajak, tidak sepenuhnya dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat. “Banyak daerah, 58 persen dana APBD pro aparatur. Bahkan untuk daerah pemekaran, 95 persen dana APBD pro aparatur,†imbuhnya.
Guru Besar Ilmu Politik Prof. Dr. Purwo Santoso, MA mengusulkan agar DJP membuat konsep pajak yang menyesuaikan solidaritas dan kesetaraan. Bukan berdasarkan aturan birokrasi yang diatur oleh Undang-undang yang dibuat oleh para politisi di senayan. “Misalnya ketika orang membayar zakat apakah mereka bisa dikurangi beban pajaknya. Begitu juga komunitas lain yang melakukan aksi sosial untuk bisa diakui sebagai pajak,†katanya.
Eddy Hiarej mengatakan proses hukum pemberantasan mafia perpajakan menghadapi kendala akibatnya adanya dualisme UU, yakni undang-undang pajak yang mengatur tindak pidana pajak dengan undang-undang korupsi. Sehingga perlu perumusan tindak pidana pajak yang jelas dan tegas. Namun yang tidak kalah penting, penegakan sanksi administrasi dapat dilakukan bersamaan dengan sanksi pidana jika terdapat indikasi perbuatan yang telah memenuhi unsur delik. (Humas UGM/Gusti Grehenson)